Thursday, December 4, 2025

2. Dari Insting ke Bahasa: Sebuah Lompatan Evolusioner

 Pada awal kehidupannya, tangisan bayi adalah alat vital untuk kelangsungan hidup. Tangisan menjadi sinyal pertama yang digunakan bayi untuk berkomunikasi dengan dunia. Melalui tangisan, mereka memberi tahu pengasuhnya bahwa mereka lapar, merasa tidak nyaman, atau membutuhkan perhatian.


Bayangkan jika seorang bayi tidak menangis sama sekali. Ini bukan hanya menjadi tanda adanya gangguan kesehatan, tetapi juga memperbesar risiko bayi kesulitan menyampaikan kebutuhannya. Tanpa tangisan sebagai peringatan, bayi mungkin tidak diberi makan tepat waktu atau tidak mendapatkan perlindungan yang cukup.

Namun, tangisan memiliki keterbatasan. Ia hanya dapat menyampaikan pesan-pesan dasar, sering kali ambigu, dan tidak cukup mampu menggambarkan pemikiran yang lebih kompleks. Bagaimana mungkin seseorang menyatakan cinta, menceritakan pengalaman, atau menjelaskan ide abstrak hanya dengan tangisan? Di sinilah bahasa muncul sebagai sebuah lompatan evolusioner yang mengubah segalanya.

Berbeda dengan spesies lain, manusia memiliki kemam-puan untuk mengembangkan sistem komunikasi yang sangat canggih. Kita tidak hanya mengeluarkan suara, melainkan menyusunnya menjadi kata-kata, frasa, dan kalimat dengan makna yang disepakati bersama. Kemampuan ini adalah apa yang membedakan manusia dari makhluk hidup lainnya, menjadikan kita satu-satunya spesies yang mampu memba-ngun dunia melalui bahasa.

Menurut Noam Chomsky (1957), seorang linguis revolusioner, manusia memiliki perangkat bawaan dalam otaknya yang memungkinkan kita mempelajari dan menggunakan bahasa dengan mudah. Ini menjelaskan menga-pa anak-anak di seluruh dunia, terlepas dari bahasa ibu mereka, melalui tahapan perkembangan bahasa yang serupa—mulai dari suara-suara acak (babbling), mengucapkan kata pertama, hingga akhirnya menyusun kalimat sederhana. Namun, para ilmuwan berbeda pendapat terkait dengan wujud yang disebut perangkat bawaan tersebut. Apakah berupa perangkat fisik, perangkat program khusus, atau lainnya.

Bayi di Jepang, Prancis, Indonesia, dan belahan dunia manapun, semuanya memulai perjalanan bahasa dengan pola serupa. Mereka mengeluarkan suara-suara acak, kemudian mengucapkan kata-kata sederhana seperti "mama" atau "papa," lalu menggabungkan kata-kata menjadi kalimat yang lebih kompleks. Fenomena ini membuktikan bahwa kemam-puan berbahasa bukan semata hasil dari pembelajaran, melainkan sudah tertanam dalam diri manusia sejak lahir.

Steven Pinker (1994), dalam bukunya The Language Instinct, menyatakan bahwa bahasa adalah sebuah "insting", bukan sekadar keterampilan yang harus diajarkan secara eksplisit. Kita tidak perlu diajari bagaimana menangis; demikian juga kita tidak perlu diajari bagaimana berbicara, karena otak manusia telah diprogram secara alami untuk memproses bahasa.

Tentu saja, lingkungan tetap memainkan peran krusial. Seorang anak yang tumbuh dalam lingkungan yang kaya bahasa akan berkembang lebih cepat dibandingkan anak yang minim stimulasi verbal. Anak yang sering diajak berbicara, dibacakan buku, dan dilibatkan dalam interaksi verbal akan memiliki kosa kata yang jauh lebih luas dibandingkan anak yang kurang mendapatkan rangsangan tersebut.

Misalnya, bayi Indonesia yang lahir di Tarutung namun diadopsi oleh keluarga Inggris dan dibesarkan di Liverpool akan tumbuh sebagai penutur bahasa Inggris, bukan bahasa Batak. Demikian juga, bayi asal Swedia yang diadopsi oleh keluarga Jawa di Yogyakarta akan tumbuh berbicara dalam bahasa Jawa. Artinya, tidak ada template bahasa tertentu yang sudah ditentukan saat lahir. Semua bayi di dunia memiliki potensi yang sama untuk berbicara bahasa apa pun, tergantung pada lingkungan tempat mereka tumbuh.

Otak dan alat bicara manusia memiliki fleksibilitas luar biasa untuk menyerap bahasa apa pun yang ada di sekitarnya. Dari tangisan hingga kata-kata pertama, dari suara tanpa makna hingga percakapan yang terstruktur—perjalanan baha-sa manusia adalah kisah evolusi yang mengagumkan. Kemam-puan kita untuk berbicara bukan hanya hasil dari pembela-jaran, tetapi juga bagian dari warisan biologis yang sudah tersedia sejak manusia pertama kali ada.

Bahasa memungkinkan kita berbagi cerita, mengung-kapkan perasaan, dan membangun peradaban. Tanpa bahasa, tidak akan ada sejarah, tidak akan ada ilmu pengetahuan, dan tidak akan ada budaya seperti yang kita kenal hari ini. Inilah yang membuat manusia unik—kita bukan hanya makhluk yang hidup, tetapi juga makhluk yang berbicara dan bercerita.

Namun, kemampuan berbahasa ini bukan sesuatu yang statis. Bahasa terus berkembang dan beradaptasi seiring perubahan zaman, teknologi, dan interaksi antarbudaya. Setiap hari, kita diperkenalkan pada kata-kata baru, ungkapan-ungkapan baru, dan bahkan bentuk bahasa gaul baru yang muncul melalui media sosial dan teknologi komunikasi.

Fleksibilitas otak manusia memungkinkan kita menyerap dan memproses informasi-informasi baru ini. Akibatnya, bahasa kita tidak hanya bertahan, tetapi juga terus tumbuh, diperkaya, dan diperbarui.

Perkembangan teknologi, seperti internet, media sosial, dan aplikasi pesan instan, turut mempercepat perubahan ini. Kita semakin terbiasa dengan komunikasi yang ringkas, informal, dan penuh dengan emoji atau singkatan. Meskipun kadang-kadang dianggap sebagai penurunan kualitas bahasa, kenyataannya ini menunjukkan betapa adaptif dan hidupnya bahasa manusia.

Kita tidak hanya menggunakan bahasa yang diwariskan, tetapi juga menciptakan kata-kata baru, menggabungkan unsur-unsur dari berbagai bahasa, dan membentuk dialek-dialek baru yang unik. Bahasa adalah organisme hidup yang terus berevolusi, selaras dengan perjalanan manusia itu sendiri.

Oleh karena itu, mari kita rayakan keajaiban bahasa, dengan segala kompleksitas dan dinamikanya. Mari kita hargai kemampuan berkomunikasi, berbagi ide, dan membangun hubungan melalui bahasa. Dan yang terpenting, mari kita terus belajar, beradaptasi, dan mengembangkan bahasa kita, agar mampu menghadapi tantangan masa depan dengan lebih baik.   

Perjalanan dari tangisan pertama hingga kemampuan berbicara menunjukkan betapa alami dan luar biasanya proses penguasaan bahasa dalam diri manusia. Kita lahir dengan potensi besar untuk menyerap bahasa apa pun, dan lingkungan sosial memperkaya potensi itu menjadi keterampilan yang nyata. Namun, meski kemampuan ini telah tertanam dalam diri kita, banyak orang dewasa yang merasa belajar bahasa itu sulit, bahkan mustahil. Mengapa bisa terjadi persepsi semacam itu?

Di Bab 3, kita akan membongkar mitos-mitos tentang kesulitan bahasa, dan menemukan kenyataan bahwa berbahasa jauh lebih mudah daripada yang selama ini kita kira.

Tuesday, December 2, 2025

BAHASA: KEAJAIBAN YANG TERLUPAKAN

 Dalam Label Playlist ini, Saya akan unggah sebagian bab dari buku kami


1. Tangisan Pertama: Lebih dari Sekadar Suara

 

Bayangkan momen magis ketika seorang bayi mungil lahir ke dunia. Ruangan yang sebelumnya penuh ketegangan tiba-tiba dipenuhi suara tangisan nyaring. Bukan kata-kata sambutan yang pertama kali terdengar, melainkan pekikan kuat yang menandakan sebuah awal baru.


Tangisan ini bukan sekadar suara tanpa makna, melainkan sebuah kode biologis yang membawa pesan mendalam. Bagi dokter dan perawat, tangisan bayi adalah simfoni kehidupan—tanda bahwa paru-parunya berfungsi dengan baik dan ia siap menghadapi dunia luar. Bagi orang tua, tangisan ini adalah teka-teki yang harus dipecahkan.

Mengapa bayi tidak lahir dengan tersenyum atau, setidaknya, diam saja? Mengapa tangisan begitu krusial dalam momen pertama kehidupan? Jawabannya terletak pada hakikat manusia sebagai makhluk sosial.

Tangisan adalah bentuk komunikasi paling awal—sebuah proto-language, sistem komunikasi primitif yang sudah ada sebelum kata-kata pertama diucapkan. Bayi menangis bukan tanpa alasan; mereka melakukannya untuk menyampaikan rasa lapar, dingin, sakit, ketakutan, atau sekadar kebutuhan akan sentuhan dan kehangatan (Zeifman, 2001).

Setiap jenis tangisan memiliki pola berbeda tergantung pada kebutuhan bayi. Ibu yang terbiasa merawat bayinya sering kali dapat membedakan tangisan lapar dari tangisan karena ketidaknyamanan atau rasa sakit. Ini adalah bentuk komunikasi awal yang, meskipun sederhana, sangat efektif.

Jika kita melihat lebih dalam, tangisan bayi mencerminkan prinsip dasar fungsi bahasa: menyampaikan informasi dan mendapatkan respons. Bahkan sebelum bayi mampu berbicara, mereka sudah berkomunikasi dengan cara yang dapat dipahami lingkungan sekitarnya. Ini menunjukkan bahwa kebutuhan untuk berkomunikasi muncul jauh sebelum kemampuan berbahasa berkembang.

Seiring waktu, komunikasi bayi berkembang menjadi lebih kompleks. Dari tangisan, mereka mulai mengoceh, mengucapkan kata-kata pertama, hingga akhirnya membentuk kalimat terstruktur. Misalnya, bayi yang baru belajar berbicara mungkin akan mengatakan "Mama" untuk menarik perhatian ibunya. Pada tahap ini, bahasa mulai menggantikan tangisan sebagai alat komunikasi utama.

Bayi yang menangis karena lapar akan segera diberi susu oleh ibunya. Seiring waktu, mereka belajar bahwa menangis adalah cara efektif untuk memenuhi kebutuhan. Namun, ketika mereka mulai memahami dan menggunakan kata-kata, mereka tidak lagi perlu menangis setiap kali lapar—cukup mengatakan, "Mama, makan!"

Tangisan pertama bayi bukan hanya tanda kehidupan, tetapi juga bukti bahwa komunikasi adalah kebutuhan dasar manusia. Bahkan sebelum kita bisa berbicara, kita sudah memiliki mekanisme untuk terhubung dengan orang lain. Inilah alasan utama mengapa manusia berbahasa: untuk memba-ngun hubungan dan bertahan hidup.

Bagi sebagian orang, semua tangisan bayi mungkin terdengar sama. Namun, penelitian menunjukkan bahwa tangisan bayi memiliki variasi yang dapat diidentifikasi, mencerminkan kebutuhan dan kondisi fisiknya. Tangisan bernada tinggi dan melengking sering kali menunjukkan rasa sakit, sementara tangisan pendek dan berulang biasanya menjadi tanda rasa lapar. Sebaliknya, tangisan yang terdengar merengek menandakan ketidaknyamanan.

Tangisan bayi bukan sekadar respons refleksif, melainkan sebuah sistem komunikasi awal yang memiliki struktur dan makna. Setiap tangisan memiliki pola tertentu tergantung pada kebutuhannya. Misalnya, tangisan karena lapar cenderung lebih ritmis dan teratur, sedangkan tangisan akibat rasa sakit biasanya terdengar melengking dan tidak beraturan.

Pengasuh yang berpengalaman, terutama ibunya, sering kali mampu membedakan berbagai jenis tangisan bayi dan merespons dengan tepat. Kemampuan ini menunjukkan bahwa tangisan bayi memang mengandung informasi yang dapat diinterpretasi dengan akurat.

Penelitian lebih lanjut mengidentifikasi berbagai karak-teristik akustik dalam tangisan bayi yang berkorelasi dengan penyebabnya. Misalnya, tangisan bernada tinggi sering dikait-kan dengan rasa sakit, sedangkan tangisan ritmis dan berulang menunjukkan rasa lapar. Studi oleh Gustafson, Wood, dan Green (2000) mendukung temuan ini, menunjukkan bahwa tangisan bayi bukan hanya ekspresi emosional, melainkan bentuk komunikasi kompleks dan terstruktur.

Komunikasi bayi tidak hanya terbatas pada tangisan. Seiring perkembangannya, mereka mulai menggunakan gerakan tubuh, ekspresi wajah, dan suara vokal lain untuk menarik perhatian. Bayi menggerakkan tangan dan kaki dengan antusias saat tertarik pada sesuatu, melebarkan mata saat terkejut, atau mengerutkan kening saat merasa tidak nyaman. Mereka juga mulai mengeluarkan suara seperti "gu-gu" atau "ga-ga"—dikenal sebagai babbling—sebagai latihan awal dalam produksi suara (Murray & Trevarthen, 1985).

Menariknya, komunikasi bayi dengan orang dewasa sudah menyerupai percakapan jauh sebelum mereka bisa berbicara. Dalam konsep "protoconversation", bayi dan pengasuh sering terlibat dalam pertukaran ekspresi dan vokalisasi yang ritmis (Trevarthen, 1979).

Bayangkan seorang ibu yang mendekatkan wajahnya ke bayinya dan berkata dengan suara lembut, "Hai sayang, kamu lapar ya?" Jika bayinya merespons dengan gerakan mulut atau suara kecil, sang ibu menanggapi dengan kata-kata atau ekspresi wajah lebih banyak. Proses ini membentuk dasar komunikasi manusia: giliran berbicara, respons, dan keterli-batan emosional.

Fenomena ini terlihat juga di dunia dewasa. Bayangkan seseorang yang tidak menguasai bahasa asing di negeri orang. Dengan isyarat tangan, ekspresi wajah, dan nada suara, ia tetap berusaha menyampaikan maksudnya—mirip dengan cara bayi berkomunikasi sebelum berbicara. Bahkan di era digital, kita menggunakan emoji, GIF, atau nada suara dalam pesan suara untuk mengungkapkan emosi. Ini menunjukkan bahwa bahasa tidak semata soal kata-kata dan tata bahasa, melainkan sistem komunikasi kompleks yang berakar pada ekspresi manusia.

Dari tangisan pertama hingga interaksi sosial yang kaya, perjalanan bahasa manusia dimulai sejak detik pertama kehidupan. Studi terbaru juga menunjukkan bahwa interaksi awal bayi dengan pengasuh berpengaruh besar terhadap perkembangan sosial dan emosional mereka di masa depan. Bayi yang mendapatkan respons positif cenderung mengem-bangkan keterampilan komunikasi yang lebih baik serta ikatan emosional yang lebih kuat. Memahami pola komunikasi bayi bukan hanya penting untuk perkembangan bahasa, tetapi juga untuk kesehatan sosial dan emosional mereka.

Dari tangisan pertama hingga celotehan sederhana, kita melihat bagaimana manusia tergerak secara naluriah untuk berkomunikasi. Namun, perjalanan kita dalam menguasai bahasa tidak berhenti di situ. Seiring bertambahnya usia, kita tidak hanya menggunakan suara untuk mengekspresikan kebu-tuhan dasar, tetapi juga mulai menciptakan dunia melalui kata-kata: menyusun makna, membangun hubungan, dan memben-tuk realitas. Bab berikutnya akan mengajak Anda menyelami bagaimana manusia mengubah suara menjadi sistem makna yang membentuk dunia kita.

Ilusi Kemajuan: Menelanjangi Hubungan Toksik Kita dengan Energi dan Ekonomi Rapuh

 Musibah banjir yang melanda Sumatera Utara, khususnya Kota Medan, baru-baru ini bukan sekadar bencana hidrometeorologi; peristiwa ini adalah sebuah "uji tekanan" yang menampar kesadaran kita akan kerapuhan sistem kehidupan yang kita bangun. Ketika air merendam kota, pasokan listrik terputus dan BBM menjadi langka, kita menyaksikan sebuah kelumpuhan massal.

 Masyarakat panik. Orang-orang seakan kehilangan kemampuan untuk bekerja dan berproduksi seketika itu juga. Antrian mengular panjang di SPBU, warga berdesakan demi seliter bensin, dan kegelapan total di malam hari membekukan aktivitas ekonomi. Realitas di lapangan ini menelanjangi sebuah fakta yang mengerikan: kita tidak memiliki ketahanan. Kebergantungan kita pada listrik dan BBM begitu absolut, sehingga tanpanya, kita kembali ke zaman batu dalam hitungan jam.

 Namun, tragedi yang lebih besar bukanlah banjir itu sendiri, melainkan paradoks di balik energi yang kita perebutkan dalam antrian panjang tersebut. Kita menggantungkan "nyawa" peradaban ini pada Sumber Daya Alam (SDA) yang tidak dapat diperbaharui, yang justru turut menyumbang pada kerusakan iklim pemicu banjir tersebut. Kita sadar sistem ini rapuh, namun anehnya, belum ada usaha yang benar-benar signifikan untuk menghentikan kecanduan ini.

 Mengapa kita seolah berjalan dalam tidur menuju jurang kehancuran? Jawabannya bukan sekadar keterbatasan teknologi, melainkan cengkeraman ekonomi dan ilusi kebijakan yang menyesatkan.

 

Ekonomi Semu dan Mitos Energi Murah

 Faktor utama yang membuat kita enggan berpaling adalah ilusi bahwa energi fosil itu "murah". Ini adalah kebohongan akuntansi terbesar. Harga bensin yang kita antrekan atau listrik yang kita pakai tampak terjangkau hanya karena biaya eksternalitasnya disembunyikan.

 Kita tidak membayar biaya kerusakan hutan, biaya pengobatan penyakit akibat polusi, atau kerugian ekonomi akibat banjir seperti di Medan ini dalam struk pembelian BBM kita. Jika prinsip polluter pays (pencemar membayar) diterapkan, energi fosil akan menjadi sangat mahal. Kita mempertahankan ekonomi semu ini demi kenyamanan sesaat, sembari menumpuk utang ekologis yang kini mulai ditagih oleh alam.

 

Inersia Infrastruktur: Terjebak Masa Lalu

 Lambannya transisi ini juga disebabkan oleh jebakan "biaya hangus" (sunk cost). Kita telah menginvestasikan triliunan untuk infrastruktur energi kotor—kilang minyak, pipa gas, dan PLTU raksasa.

 Para pelaku industri dan pembuat kebijakan enggan meninggalkan investasi ini. Terjadi fenomena path dependence, di mana keputusan hari ini dikunci oleh infrastruktur usang masa lalu. Akibatnya, inovasi terhambat bukan karena tidak layak, tapi karena status quo terlalu menguntungkan bagi segelintir elit, meskipun rakyat yang harus menanggung dampaknya saat bencana datang.

 

Paradoks Kendaraan Listrik: Solusi Kosmetik yang Membuka Luka Baru

 Ketika kritik memuncak, solusi yang ditawarkan sering kali dangkal, seperti "Kendaraan Listrik" (EV). Namun, ini pun menyimpan cacat logika. Jika kita mengisi daya mobil listrik dengan energi dari PLTU batu bara, kita hanya memindahkan polusi dari jalan raya ke cerobong asap pembangkit.

 Lebih parah lagi, EV membawa masalah eksploitasi baru. Baterainya bergantung pada nikel, yang penambangannya sering mengorbankan hutan hujan dan daerah resapan air—yang ironisnya, memperparah risiko banjir itu sendiri. Selain itu, baterai memiliki masa pakai terbatas. Tanpa infrastruktur daur ulang yang siap, kita sedang menabung "bom waktu" limbah beracun di masa depan. Kita hanya beralih dari pecandu minyak menjadi pecandu nikel.

 

Kegagalan Neoliberal: Mengutamakan Kendaraan Pribadi

 Akar dari lambannya pengurangan emisi di sektor transportasi adalah ideologi ekonomi liberal yang dianut negara. Transportasi diperlakukan sebagai komoditas bisnis, bukan hak publik.

 Pemerintah lebih tergiur mendukung industri otomotif pribadi karena perputaran uangnya cepat dan mendongkrak PDB. Penjualan jutaan kendaraan dianggap prestasi, padahal itu adalah kegagalan manajemen ruang. Sebaliknya, transportasi massal (Kereta, Bus) dianaktirikan karena dianggap membebani anggaran.

 Alih-alih investasi besar-besaran untuk transportasi publik yang efisien, negara justru membakar anggaran untuk subsidi BBM—subsidi yang justru menyuburkan kemacetan dan polusi. Ini adalah kebijakan kontradiktif: mensubsidi racun, membiarkan obat penawarnya (transportasi publik) mati suri.


 Simpulan: Pencurian Hak Masa Depan

 Pemandangan banjir di Medan dan antrian BBM adalah mikrokosmos dari masalah global kita. Pola konsumsi energi dan kebijakan ekonomi kita saat ini adalah bentuk *pencurian lintas generasi*. Kita menghabiskan "modal" bumi (SDA tak terbarukan) dan mewariskan "bunga" berupa bencana.

 Perubahan tidak akan terjadi hanya dengan menunggu banjir surut. Perubahan hanya akan terjadi jika kita berani merombak total paradigma ekonomi: dari yang berorientasi pada profit jangka pendek, menjadi ekonomi yang berorientasi pada ketahanan, keberlanjutan, dan kemaslahatan publik.