Pada awal kehidupannya, tangisan bayi adalah alat vital untuk kelangsungan hidup. Tangisan menjadi sinyal pertama yang digunakan bayi untuk berkomunikasi dengan dunia. Melalui tangisan, mereka memberi tahu pengasuhnya bahwa mereka lapar, merasa tidak nyaman, atau membutuhkan perhatian.
Bayangkan jika seorang bayi tidak menangis sama sekali. Ini bukan hanya menjadi tanda adanya gangguan kesehatan, tetapi juga memperbesar risiko bayi kesulitan menyampaikan kebutuhannya. Tanpa tangisan sebagai peringatan, bayi mungkin tidak diberi makan tepat waktu atau tidak mendapatkan perlindungan yang cukup.
Namun, tangisan memiliki
keterbatasan. Ia hanya dapat menyampaikan pesan-pesan dasar, sering kali
ambigu, dan tidak cukup mampu menggambarkan pemikiran yang lebih kompleks. Bagaimana
mungkin seseorang menyatakan cinta, menceritakan pengalaman, atau menjelaskan
ide abstrak hanya dengan tangisan? Di sinilah bahasa muncul sebagai sebuah
lompatan evolusioner yang mengubah segalanya.
Berbeda dengan spesies lain,
manusia memiliki kemam-puan untuk mengembangkan sistem komunikasi yang sangat
canggih. Kita tidak hanya mengeluarkan suara, melainkan menyusunnya menjadi
kata-kata, frasa, dan kalimat dengan makna yang disepakati bersama. Kemampuan
ini adalah apa yang membedakan manusia dari makhluk hidup lainnya, menjadikan
kita satu-satunya spesies yang mampu memba-ngun dunia melalui bahasa.
Menurut Noam Chomsky (1957),
seorang linguis revolusioner, manusia memiliki perangkat bawaan dalam otaknya
yang memungkinkan kita mempelajari dan menggunakan bahasa dengan mudah. Ini
menjelaskan menga-pa anak-anak di seluruh dunia, terlepas dari bahasa ibu
mereka, melalui tahapan perkembangan bahasa yang serupa—mulai dari suara-suara
acak (babbling), mengucapkan kata
pertama, hingga akhirnya menyusun kalimat sederhana. Namun, para ilmuwan
berbeda pendapat terkait dengan wujud yang disebut perangkat bawaan tersebut.
Apakah berupa perangkat fisik, perangkat program khusus, atau lainnya.
Bayi di Jepang, Prancis,
Indonesia, dan belahan dunia manapun, semuanya memulai perjalanan bahasa dengan
pola serupa. Mereka mengeluarkan suara-suara acak, kemudian mengucapkan
kata-kata sederhana seperti "mama" atau "papa," lalu
menggabungkan kata-kata menjadi kalimat yang lebih kompleks. Fenomena ini
membuktikan bahwa kemam-puan berbahasa bukan semata hasil dari pembelajaran,
melainkan sudah tertanam dalam diri manusia sejak lahir.
Steven Pinker (1994), dalam
bukunya The Language Instinct,
menyatakan bahwa bahasa adalah sebuah "insting", bukan sekadar
keterampilan yang harus diajarkan secara eksplisit. Kita tidak perlu diajari
bagaimana menangis; demikian juga kita tidak perlu diajari bagaimana berbicara,
karena otak manusia telah diprogram secara alami untuk memproses bahasa.
Tentu saja, lingkungan tetap
memainkan peran krusial. Seorang anak yang tumbuh dalam lingkungan yang kaya
bahasa akan berkembang lebih cepat dibandingkan anak yang minim stimulasi
verbal. Anak yang sering diajak berbicara, dibacakan buku, dan dilibatkan dalam
interaksi verbal akan memiliki kosa kata yang jauh lebih luas dibandingkan anak
yang kurang mendapatkan rangsangan tersebut.
Misalnya, bayi Indonesia yang
lahir di Tarutung namun diadopsi oleh keluarga Inggris dan dibesarkan di
Liverpool akan tumbuh sebagai penutur bahasa Inggris, bukan bahasa Batak. Demikian
juga, bayi asal Swedia yang diadopsi oleh keluarga Jawa di Yogyakarta akan
tumbuh berbicara dalam bahasa Jawa. Artinya, tidak ada template bahasa tertentu
yang sudah ditentukan saat lahir. Semua bayi di dunia memiliki potensi yang
sama untuk berbicara bahasa apa pun, tergantung pada lingkungan tempat mereka
tumbuh.
Otak dan alat bicara manusia
memiliki fleksibilitas luar biasa untuk menyerap bahasa apa pun yang ada di
sekitarnya. Dari tangisan hingga kata-kata pertama, dari suara tanpa makna
hingga percakapan yang terstruktur—perjalanan baha-sa manusia adalah kisah
evolusi yang mengagumkan. Kemam-puan kita untuk berbicara bukan hanya hasil
dari pembela-jaran, tetapi juga bagian dari warisan biologis yang sudah
tersedia sejak manusia pertama kali ada.
Bahasa memungkinkan kita berbagi
cerita, mengung-kapkan perasaan, dan membangun peradaban. Tanpa bahasa, tidak
akan ada sejarah, tidak akan ada ilmu pengetahuan, dan tidak akan ada budaya
seperti yang kita kenal hari ini. Inilah yang membuat manusia unik—kita bukan
hanya makhluk yang hidup, tetapi juga makhluk yang berbicara dan bercerita.
Namun, kemampuan berbahasa ini
bukan sesuatu yang statis. Bahasa terus berkembang dan beradaptasi seiring
perubahan zaman, teknologi, dan interaksi antarbudaya. Setiap hari, kita
diperkenalkan pada kata-kata baru, ungkapan-ungkapan baru, dan bahkan bentuk
bahasa gaul baru yang muncul melalui media sosial dan teknologi komunikasi.
Fleksibilitas otak manusia
memungkinkan kita menyerap dan memproses informasi-informasi baru ini. Akibatnya,
bahasa kita tidak hanya bertahan, tetapi juga terus tumbuh, diperkaya, dan
diperbarui.
Perkembangan teknologi, seperti
internet, media sosial, dan aplikasi pesan instan, turut mempercepat perubahan
ini. Kita semakin terbiasa dengan komunikasi yang ringkas, informal, dan penuh
dengan emoji atau singkatan. Meskipun kadang-kadang dianggap sebagai penurunan
kualitas bahasa, kenyataannya ini menunjukkan betapa adaptif dan hidupnya
bahasa manusia.
Kita tidak hanya menggunakan
bahasa yang diwariskan, tetapi juga menciptakan kata-kata baru, menggabungkan
unsur-unsur dari berbagai bahasa, dan membentuk dialek-dialek baru yang unik. Bahasa
adalah organisme hidup yang terus berevolusi, selaras dengan perjalanan manusia
itu sendiri.
Oleh karena itu, mari kita
rayakan keajaiban bahasa, dengan segala kompleksitas dan dinamikanya. Mari kita
hargai kemampuan berkomunikasi, berbagi ide, dan membangun hubungan melalui
bahasa. Dan yang terpenting, mari kita terus belajar, beradaptasi, dan
mengembangkan bahasa kita, agar mampu menghadapi tantangan masa depan dengan
lebih baik.
Perjalanan dari tangisan pertama
hingga kemampuan berbicara menunjukkan betapa alami dan luar biasanya proses
penguasaan bahasa dalam diri manusia. Kita lahir dengan potensi besar untuk
menyerap bahasa apa pun, dan lingkungan sosial memperkaya potensi itu menjadi
keterampilan yang nyata. Namun, meski kemampuan ini telah tertanam dalam diri
kita, banyak orang dewasa yang merasa belajar bahasa itu sulit, bahkan
mustahil. Mengapa bisa terjadi persepsi semacam itu?
Di Bab 3, kita akan membongkar
mitos-mitos tentang kesulitan bahasa, dan menemukan kenyataan bahwa berbahasa
jauh lebih mudah daripada yang selama ini kita kira.

