Showing posts with label Analisis Wacana. Show all posts
Showing posts with label Analisis Wacana. Show all posts

Monday, August 21, 2017

Ihwal Pengertian Konteks


5.1 Pengantar

Sebagai sebuah bentuk nyata bahasa dalam penggunaan, teks tidak hadir dalam sebuah ruang sosial yang kosong. Kehadiran sebuah teks secara inheren mengimplikasikan kehadiran unsur-unsur lain. Unsur-unsur lain yang hadir bersama teks tersebut disebut dengan konteks. Dengan kata lain, konteks adalah yang menyertai hadirnya sebuah teks. Tidak ada pembicaraan mengenai konteks tanpa ada teks. Begitu juga, tidak ada pembicaraan mengenai teks tanpa konteks.
Secara sepintas hubungan teks dengan konteks telah disinggung dalam Bab 4. Bahkan, konteks merupakan implikasi langsung dari definisi teks sebagai realisasi lingual yang memiliki tujuan sosial. Dengan kata lain, tidak adak teks yang tidak bersifat kontekstual karena teks merupakan bentuk nyata bahasa dalam penggunaan dan, dengan demikina, berada dalam ruang sosial (social sphere). Oleh karena itu, hubungan antara teks dengan konteks juga merupakan dua sisi mata uang. Hal tersebut merupakan turunan langsung dari hubungan antara realisasi lingual teks dengan tujuan sosial teks.
Pada kenyataannya, pengertian konteks secara umum menjadi tumpah tindih sebagaimana pengertian teks. Tumpang tindih pengertian konteks tersebut disebabkan oleh dan merupakan akibat langsung dari kekaburan pengertian istilah teks yang diajukan oleh para linguis sebagaimana tampak dalam pembahasan Bab 3 dan bagian awal Bab 4. Tidak mengherankan apabila pengertian konteks sering merujuk pada teks itu sendiri. Dengan kata lain, terdapat pengertian yang tumpang tindih antara teks dan konteks sehingga posisi dan peran keduanya menjadi kabur. Kita akan membahas permasalahan tersebut pada akhir bagian ini setelah pengertian konteks yang dipaparkan.
Bab 4 ini akan membahas permasalahan konteks dan secara lebih mendalam relasi antara teks dengan konteks. Permasalahan konteks ini perlu dibicarakan untuk mempertegas pengertian teks dan untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan konteks dalam kaitannya dengan pengertian teks dalam Bab 4 bagian 4.4. Di samping itu, pembahasan yang dilakukan juga akan mendalami hubungan antara teks dengan konteks. Dengan memahami pengertian teks, konteks, dan hubungan keduanya, kita dapat mengetahui dengan baik apa objek, metode, dan tujuan analisis teks

5.2 Kajian Kritis tentang Konteks


Sumarlam (2003:47) menyatakan bahwa “konteks wacana (teks)[1] adalah aspek-aspek internal wacana (teks) dan segala sesuatu yang secara eksternal melingkupi sebuah wacana (teks)”. Konteks internal teks tersebut berupa bahasa dan konteks eksternal teks adalah konteks situasi dan budaya. Untuk dapat melihat permasalahan yang ditimbulkan oleh definisi konteks tersebut, definisi tersebut akan disajikan dalam bentuk gambar 5.

 


 Gambar 5. Representasi Definisi Konteks 
Menurut Sumarlam (2003)

Berdasarkan gambar 5, tampak jelas bahwa konteks eksternal dan konteks internal memiliki kedudukan yang sangat berbeda dalam hubungannya dengan teks. Konteks eksternal berdasarkan gambar 5 tampak jelas berada di luar teks. Dapat juga dikatakan bahwa konteks eksternal merupakan sesuatu yang berbeda dan dapat dibedakan dari teks. Sementara itu, konteks internal berada dalam teks itu sendiri. Bahkan, dapat dikatakan konteks internal tidak lain merupakan teks itu sendiri. Permasalahan yang muncul adalah ketika hubungan antara teks dengan konteks internal dicemati secara seksama.
Terdapat hubungan yang tumpang tindih antara teks dengan konteks internal. Konteks internal adalah aspek-aspek internal yang tidak lain adalah aspek-aspek realisasi lingual teks itu sendiri. Konteks internal ini juga sering disebut dengan konteks linguistik. Permasalahannya adalah jika aspek-aspek internal teks yang berupa bahasa adalah konteks, maka teks itu sesungguhnya adalah konteks karena teks tersusun atas aspek-aspek internalnya yang berupa bahasa. Dengan demikian, apa bedanya antara konteks internal atau konteks linguistik dengan teks itu sendiri? Bagaimanakah mungkin teks dapat menjadi konteks bagi dirinya sendiri? Permasalahan tersebut muncul sebagai konsekuensi logis dari ketidakjelasan definisi teks atau dalam definisi wacana menurut para linguis yang telah dibahas dalam bab 3.
Untuk membahas secara mendalam permasalahan hubungan antara konteks dengan teks, teks (IV.8) dalam bab 4 disajikan kembali dalam (V.1).

(V.1)      a. Pembeli  : Beli
               b.  Penjual   : Beli apa, Dik?
               c.  Pembeli  : Biskuat
               d.  Penjual   : Berapa, Dik?
               e.  Pembeli  : Dua
               f.  Penjual   : Ini

Menurut definisi konteks yang diajukan oleh Sumarlam (2003:47), keenam kalimat dalam teks (V.1) merupakan konteks internal. Akan tetapi, keenam kalimat tersebut secara keseluruhan juga merupakan teks (atau wacana menurutnya). Yang menjadi pertanyaan adalah ketika kita sedang melakukan analisis teks (V.1), kita melakukan analisis teks atau analisis konteks. Di samping itu, manakah batas-batas antara konteks internal dengan teksnya, sehingga kita dapat mengidentifikasi manakah yang merupakan teks dan manakah yang merupakan konteks?
Implikasi lebih jauh yang diakibatkannya juga berkaitan dengan pembedaan yang selama ini dikenal dengan analisis tekstual dan analisis kontekstual. Sumarlam (2006:22-31) menyatakan bahwa “analisis tekstual adalah analisis wacana (teks) yang bertumpu secara internal pada teks yang dikaji” dan “analisis kontekstual adalah analisis wacana (teks) dengan bertumpu pada teks yang dikaji berdasarkan konteks eksternal yang melingkupinya”. Kita ketahui bahwa baik analisis tekstual maupun analisis kontekstual pada hakikatnya didasarkan pada konteks. Yang pertama didasarkan pada konteks internal dan yang kedua pada konteks eksternal. Yang menjadi pertanyaan mengapa hanya yang kedua yang disebut analisis kontekstual. Pembedaan analisis tekstual dan kontekstual tersebut akhirnya mengisyaratkan bahwa analisis tekstual bukanlah analisis kontekstual dan, dengan demikian, tidak berdasarkan konteks.
Jika aspek-aspek internal teks yang berupa bahasa merupakan konteks internal, maka analisis yang bertumpu pada aspek-aspek internal teks secara logis juga harus dikatakan sebagai analisis kontekstual. Tampak bahwa, sebagaimana pengertian teks, pengertian konteks juga merupakan sesuatu yang selama ini dipandang sebagai hal yang sudah taken for granted, yakni hal yang seolah-olah sudah kita pahami dengan jelas. Apa yang dapat kita lihat sejauh ini adalah bahwa terdapat kekaburan apa yang disebut dengan konteks. Kekaburan tersebut, sebagaimana selalu diingatkan dalam buku ini, disebabkan oleh kekaburan pengertian teks dan wacana. Secara logis tentunya kita tidak dapat menentukan konteks jika kita belum dapat menentukan teks.
Permasalahan konteks dalam kaitannya dengan teks juga tidak dibahas secara jelas oleh Brown dan Yule (1983), Lubis (1993), Schiffrin (1994), Eriyanto (2001), Sobur (2001), dan Rani et. al. (2004). Mereka pada umumnya mencampurbaurkan (i) pengertian konteks dari sebuah teks sebagai satu kesatuan seperti konteks dari teks maksimal (V.1) dengan (ii) pengertian konteks dari teks-teks parsial pembentuk teks maksimal. Kedua bentuk konteks tersebut biasanya dikelompokkan ke dalam (i) konteks linguistik dan konteks non-linguistik (Lubis 1993, Rani et. al. 2000), (ii) konteks internal dan konteks eksternal (Sumarlam 2003), atau (iii) konteks intrinsik dan konteks ekstinsik (Schegloff 1992). Kedua bentuk konteks yang berbeda posisi tersebut, yaitu konteks dari teks maksimal dan konteks dari teks parsial dan minimal, menurut mereka dianggap memiliki posisi yang sama, yaitu sebagai konteks dari sebuah teks maksimal. Pengertian itu sama dengan menyatakan bahwa, di samping konteks situasi dan budaya, konteks dari teks maksimal (V.1) adalah teks-teks parsial dan teks-teks minimal dari teks (V.1) itu sendiri.
Simpang siur pengertian konteks tersebut tidak dapat dipisahkan dari permasalahan-permasalahan yang ditimbulkan oleh definisi teks yang telah dibahas dalam bab 3. Saya sependapat dengan Wood dan Kroger (2000:127) yang menyatakan konteks sebagai “information that is outside the text being analyzed”. Akan tetapi, saya tidak sependapat dengan Wood dan Kroger (2000:128) ketika mereka hanya menerapkan konteks dalam pengertian ekstralinguistik seperti kelas, etnik, jender, suku, kekuasaan, dan tatanan institusional seperti tatanan hukum. Pemahaman seperti itu muncul karena definisi teks dipahami secara formal sehingga tidak melihat kemungkinan teks sebagai realisasi lingual sebuah teks. Jika analisis difokuskan hanya pada sebuah teks parsial yang terdapat dalam sebuah teks maksimal, tentunya kita akan mendapati konteks lingustik di samping konteks ekstralinguistik.
Pengertian konteks hanya dalam pengertian konteks ekstralinguistik juga diajukan oleh Schiffrin (1994:364) yang menyatakan bahwa konteks adalah

world filled with people producing utterances: people who have social, cultural, and personal identities, knowledge, belief, goals and wants, and who interact with one another in various socially and culturally defined situations

Sebuah pengertian konteks yang diajukan oleh para linguis selalu dapat dirujuk kembali pada pengertian teks yang mereka ajukan. Konteks diartikan demikian karena teks menurut Schiffrin (1994:363) adalah “linguistic material” sedangkan konteks adalah “envoronment in which “saying” .... occur”. Tampaknya Schiffrin tidak menyadari bahwa “saying” atau teks dapat terjadi dalam lingkungan teks lainnya seperti dalam sebuah percakapan yang pada hakikatnya merupakan pertukaran teks antarpartisipannya. Meskipun demikian, pengertian konteks menurut Schiffrin tersebut setidaknya mengisyaratkna bahwa konteks berada di luar teks dan dapat digunakan ketika kita berbicara tentang konteks ekstralinguistik.

5.3 Memamahi Pengertian Konteks


Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, konteks merupakan unsur-unsur di luar teks yang menyertai hadirnya sebuah teks. Itu berarti bahwa secara tegas konteks berada di luar teks. Dapat juga dikatakan bahwa batas antara teks dengan konteks dapat diidentifikasi dengan jelas. Pengertian dasar konteks ini sama dengan apa yang dikatakan oleh Wood dan Kroger (2000:127) bahwa konteks adalah “information that is outside the text being analyzed”. Manakah yang menjadi konteks hanya dapat diidentifikasi apabila manakah yang menjadi teks juga sudah dapat diidentifikasi.
Berdasarkan definisi teks yang telah disajikan pada Bab 4 bagian 4.4, hubungan antara teks dengan konteks memiliki posisi yang jelas. Teks (V.1) adalah sebuah teks maksimal dengan tiga teks parsial dan enam teks minimal. Keenam teks minimal penyusun teks (V.1) membentuk sebuah teks maksimal sebagai satu kesatuan berdasarkan tujuan sosial yang dimilikinya. Meskipun setiap teks minimal dan parsial memiliki tujuan sosialnya masing-masing, semua teks minimal dan parsial tersebut dihasilkan untuk mencapai tujuan sosial teks maksimal (V.1). Karena diikat oleh tujuan sosialnya untuk melakukan transaksi barang dan jasa, keenam teks minimal dan tiga teks parsial tersebut tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Oleh karena itu, untuk memahami teks maksimal (V.1), kita harus memahami seluruh teks mnimal dan teks parsial pembentuknya. Tentu saja, tujuan sosial transaksi barang dan jasa tidak harus dicapai dengan melalui realisasi enam teks minimal dan tiga teks parsial seperti teks (V.1). Tujuan sosial transaksi barang dan jasa dapat dicapai dengan dua teks minimal dan dua teks parsial saja dan bahkan sebuah teks maksimal dan sebuah teks parsial seperti tampak pada teks maksimal (V.2) dan (V.3).
(V.2)    Pembeli          : Beli biskuat satu ---       1
                                     (sambil memberikan uang)
            Penjual           : Ini --------------------       2
           
(V.3)    Pembeli          : Beli biskuat satu ---       1
                                     (sambil memberikan uang)
            Penjual           : (memberikan barang)

Dengan pengertian konteks adalah yang menyertai teks dan yang berada di luar teks, kita dapat memahami bahwa teks-teks minimal dan teks-teks parsial penyusun teks maksimal (V.1) tersebut dapat saling menjadi konteks bagi satu dengan lainnya. Untuk dapat memahami teks minimal (V.1.d), kita harus memperhitungkan teks minimal (V.1.a), (V.1.b), (V.1.c), (V.1.e), dan (V.1.f). Dalam hal ini, teks minimal (V.1.a), (V.1.b), (V.1.c), (V.1.e), dan (V.1.f) merupakan konteks bagi teks parsial (V.1.d). Tanpa menyertakan teks (V.1.a), (V.1.b), (V.1.c), (V.1.e), dan (V.1.f) sebagai konteksnya, kita tidak dapat memahami amanat teks minimal (V.1.d) ‘Berapa, Dik?’. Akan tetapi, dengan menyertakan teks minimal (V.1.a), (V.1.b), (V.1.c), (V.1.e), dan (V.1.f) sebagai konteksnya, kita dapat mengetahui bahwa amanat teks minimal (V.1.d) ‘Berapa, Dik?’ adalah ‘Berapa banyak biskuat yang ingin dibeli?’.
Meskipun amanat setiap teks minimal yang terdapat dalam teks maksimal (V.1) dapat dipahami berdasarkan teks-teks minimal lainnya sebagai konteksnya, apa yang dikandung seluruhnya oleh teks maksimal (V.1) belum dapat dipahami jika belum dihubungkan dengan konteks yang menyertai teks maksimal (V.1) sebagai satu kesatuan. Kita tidak dapat mengatakan bahwa keenam teks minimal dan  tiga teks parsial pembentuk teks (V.1) merupakan konteks dari teks maksimal (V.1). Dengan kata lain, keenam teks minimal dan tiga teks parsial pembentuk teks maksimal (V.1) tidak dapat menjadi konteks dari teks maksimal (IV.1) karena teks-teks minimal dan teks-teks parsial tersebut pada hakikatnya adalah bagian dari teks maksimal (V.1) itu sendiri. Sementara itu, konteks adalah unsur-unsur di luar teks. Jadi, konteks dari teks maksimal (V.1) pastilah unsur-unsur selain teks-teks yang menjadi unsur pembentuknya. Relasi antara teks parsial dengan konteksnya dan antara teks maksimal dengan konteksnya dapat dilihat dalam gambar 6.





Gambar 6. Relasi antara Teks (V.1) dengan Konteksnya.

Berdasarkan gambar 6, tampak bahwa konteks dari teks maksimal (V.1) sebagai satu kesatuan adalah konteks situasi dan budaya yang menyertai teks maksimal (V.1). Karena konteks situasi dan budaya merupakan konteks dari teks maksimal (V.1), maka konteks situasi dan budaya dari teks maksimal tersebut secara otomatis juga merupakan konteks situasi dan budaya dari teks parsial dan teks minimal. Di samping itu, konteks dari teks parsial A adalah teks parsial B dan C, konteks dari teks parsial B adalah teks parsial A dan C, dan konteks dari teks parsial C adalah teks parsial A dan B. Semantara itu, konteks dari teks minimal (V.1.a) adalah teks minimal (V.1.b), (V.1.c), (V.1.d), (V.1.e), dan (V.1.f), konteks dari teks minimal (V.1.b) adalah teks minimal (V.1.a), (V.1.c), (V.1.d), (V.1.e), dan (V.1.f), konteks dari teks minimal (V.1.c) adalah teks minimal (V.1.a), (V.1.b), (V.1.d), (V.1.e), dan (V.1.f), konteks dari teks minimal (V.1.d) adalah teks minimal (V.1.a), (V.1.b), (V.1.c), (V.1.e), dan (V.1.f), konteks dari teks minimal (V.1.e) adalah teks minimal (V.1.a), (V.1.b), (V.1.c), (V.1.d), dan (V.1.f), dan konteks dari teks minimal (V.1.f) adalah teks minimal (V.1.a), (V.1.b), (V.1.c), (V.1.d), dan (V.1.e).
Dengan demikian, tampak dengan jelas bahwa teks dan konteks memiliki posisi yang tidak tumpang tindih. Konteks adalah unsur-unsur di luar yang menyertai teks. Oleh karena itu, konteks dari teks maksimal (V.1) sebagai satu kesatuan adalah konteks situasi dan budaya. Keenam teks minimal dalam teks maksimal (V.1) dapat menjadi konteks hanya untuk teks minimal lainnya. Begitu juga, ketiga teks parsial dalam teks maksimal (V.1) hanya dapat menjadi konteks untuk teks parsial lainnya.  Keenam teks minimal dan ketiga teks parsial tersebut tidak dapat menjadi konteks untuk teks maksimal (V.1). Karena teks-teks minimal dan teks-teks tersebut merupakan bagian atau di dalam teks maksimal (V.1) sebagai satu kesatuan, maka keenam teks minimal dan ketiga teks maksimal tersebut tidak dalam posisi sebagai konteks dari teks maksmal (V.1).  Memang benar bahwa untuk memahami teks maksimal (V.1), kita harus memahami realisasi lingualnya yang berupa enam teks minimal dan tiga teks parsial dan relasi teks – konteks di antara teks-teks minimal dan parsial tersebut. Akan tetapi, sekali lagi enam teks minimal dan tiga teks parsial terseut bukanlah dalam posisi sebagai konteks dari teks maksimal (IV.1) sebagai satu kesatuan.
Dengan pengertian bahwa konteks adalah semua informasi di luar teks yang sedang dianalisis, menjadi jelas bahwa teks tidak dapat menjadi konteks karena keberadaan konteks berada di luar teks yang berarti bukan teks itu sendiri. Oleh karena itu, pengertian konteks yang telah dijelaskan dalam bagian ini berbeda dari kecenderungan umum (mainstream) yang menyatakan bahwa baik konteks internal maupun konteks ekternal merupakan konteks dari teks maksimal. Pengertian konteks dan relasinya dengan teks yang digunakan dalam buku ini dapat dikonfigurasikan dalam gambar 7.


  


Gambar 7. Konfigurasi Relasi antara Teks dengan Konteks

Hubungan yang digambarkan dengan tanda panah (à) dalam gambar 7 adalah hubungan kontekstual. Berdasarkan Gambar 7 tersebut, tampak jelas bahwa teks dan konteks memiliki posisi yang berbeda dan masing-masing dapat diidentifikasi sebagai objek yang berbeda. Dalam hal ini, konteks selalu berada di luar objek yang disebut teks. Dengan kata lain, konteks selalu bersifat eksternal. Deskripsi dalam Gambar 7 merupakan deskripsi abstrak yang contoh nyatanya dapat dilihat pada gambar 6. Keduanya dapat dibaca secara bersama. Teks maksimal (Tmaks) memiliki konteks sibu sebagai informasi yang berada di luar teks maksimal yang sedang dianalisis. Teks maksimal (Tmaks) memiliki realisasi lingual yang terdiri atas teks parsial (A) - (z) dan teks minimal (1) – (n). Teks parsial (A) memiliki konteks (B, C, z) dan konteks sibu. Baik konteks (B,C,z) dan konteks sibu berada di luar teks parsial A. Sementara itu, teks minimal (1) memiliki konteks (2, n) dan konteks sibu.  Begitu juga, konteks (2, n) dan konteks sibu berada di luar teks minimal 1. Dengan demikian, jelas bahwa tidak ada bagian dari teks yang menjadi konteks bagi dirinya sendiri sebagaimana disebutkan oleh para linguis lain dengan istilah konteks internal atau konteks intrinsik.

5.4 Jenis Konteks


Ketika kita berbicara tentang amanat sebuah teks, sering sekali kita meloncat menuju konteks. Kita seolah melupakan bahwa konteks tidak memiliki arti sama sekali dan bahkan tidak akan muncul tanpa adanya teks. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, konteks ada karena adanya teks. Begitu juga sebaliknya, teks ada karena adanya konteks. Hubungan satu dengan lainnya adalah hubungan komplementer seperti dua sisi mata uang. Meniadakan salah satunya berarti meniadakan yang lainnya. Oleh karena itu, tidak pada tempatnya jika kita mengatakan salah satunya memiliki peran yang lebih dari yang lain. Yang sesungguhnya perlu dicermati adalah bagaimana teks berhubungan dengan konteks.
Berdasarkan pembahasan bagian 4.1, kita mendapatkan dua jenis konteks. Dua jenis konteks tersebut dibedakan berdasarkan tatarannya sesuai dengan yang dideskripsikan dalam gambar 6 dan gambar 7. Dua jenis konteks tersebut sama sekali tidak mempengaruhi definisi konteks sebagai informasi di luar teks. Yang pertama adalah konteks dalam pengertian konteks Sibu, sedangkan yang kedua adalah konteks dalam pengertian Konteks (A-z) dan konteks (1-n). Konteks Sibu merupakan konteks untuk teks maksimal dan juga berarti untuk teks parsial (A-z) dan teks minimal (1-n). Sementara itu, Konteks (A-z) hanya menjadi konteks untuk teks parsial dan konteks (1-n) hanya menjadi konteks untuk teks minimal.. Relasi antara konteks Sibu dengan teks maksimalnya (Tmaks) membentuk koherensi kontekstual untuk teks maksimal (Tmaks), yaitu keterpahaman teks secara kontekstual. Sementara itu, relasi antara konteks (A–z) dan konteks (1-n) membentuk koherensi tekstual untuk teks maksimal (Tmaks), yaitu keterpahaman teks berdasarkan realisasi ligualnya.
Penting diperhatikan sekali lagi bahwa konteks (A–z) dan konteks (1-n) adalah konteks untuk teks parsial dan teks minimal bukan konteks untuk teks maksimal (Tmaks). Itu disebabkan  karena teks parsial (A– z) dan teks minimal (1-n) merupakan realisasi lingual teks maksimal (Tmaks) itu sendiri. Dengan kata lain, teks parsial (A–z) dan teks minimal (1-n) adalah wujud teks maksimal (Tmaks) itu sendiri. Oleh karena itu, tidak logis apabila teks parsial (A–z) dan teks minimal (1-n) sebagai wujud teks maksimal (Tmaks) menjadi konteks untuk teks maksimal (Tmaks) itu sendiri seperti dikonsepkan dalam Analisis Variasi (Variation Analysis) bahwa “text itself became a context” (Schiffrin 1994:375). Konsisten dengan pemahaman tentang relasi antara teks dengan konteks yang tidak dapat dipisahkan, analisis teks, baik dalam tataran koherensi kontekstual maupun tataran koherensi tekstual, selalu bersifat kontekstual, yaitu didasarkan pada analisis terhadap teks dalam kaitannya dengan konteks pada tatarannya masing-masing.
Dengan demikian, sejauh ini kita dapat membedakan dua jenis konteks. Pertama adalah konteks yang berkaitan dengan teks maksimal (Tmaks). Kedua adalah konteks yang berkaitan dengan teks parsial (A-z) dan teks minimal (1-n). Kita tidak dapat mencampur-baurkan kedua jenis teks tersebut karena memiliki posisi dan peran yang berbeda. Konteks yang pertama adalah konteks situasi dan budaya, sedangkan konteks yang kedua adalah konteks yang secara khusus untuk teks parsial dan teks minimal. Konteks situasi dan budaya memiliki posisi di luar teks maksimal dan, karenanya, secara otomatis juga berada di luar teks parsial dan teks minimal. Konteks situasi dan budaya tersebut memiliki peran membentuk koherensi kontekstual. Sementara itu, konteks yang kedua memiliki posisi yang berkaitan dengan relasi antarteks parsial dan relasi antarteks minimal dalam sebuah teks maksimal. Konteks tersebut memiliki peran membentuk koherensi tekstual. Konteks yang pertama adalah konteks ekstralinguistik dan konteks kedua adalah konteks linguistik. Akan tetapi, harus diingat bahwa konteks ekstralinguistik dan konteks linguistik yang dimaksudkan di sini mempunyai pengertian yang sangat berbeda dari dua jenis konteks yang telah diajukan oleh para analis wacana sebagaimana disebutkan sebelumnya dalam bagian 5.2.

5.5 Rangkuman


Sebagai realisasi lingual yang digunakan secara nyata dalam komunikasi, teks hadir dalam sebuah bingkai. Bingkai yang mengemas hadirnya sebuah teks tersebut disebut dengan konteks. Oleh karena itu, relasi antara teks dengan konteks merupakan relasi yang tidak dapat dipisahkan. Teks sebagaimana telah didefinisikan dalam bab 4 secara inheren mengimplikasikan bahwa tidak ada teks tanpa konteks. Akan tetapi, sebagaimana permasalahan-permasalahan yang terdapat dalam definisi teks, berbagai pengertian konteks yang telah diajukan oleh para linguis juga memiliki persoalan. Persoalan utama dari berbagai pengertian konteks yang telah ada terletak pada (i) kekaburan identitas konteks dan (ii) kemungkinan konteks mengacu pada teks itu sendiri. Dua persoalan tersebut mengakibatkan (i) identitas konteks tidak dapat diidentifikasi dengan jelas dan (ii) konteks dapat berupa teks itu sendiri.
Konteks di dalam bab 5 ini dengan tegas dipahami sebagai segala informasi di luar teks. Dengan kata lain, letak konteks berada di luar teks. Itulah sebabnya konteks selalu bersifat eksternal. Pengertian konteks tersebut memberikan identitas yang jelas pada konteks. Identitasas konteks sebagai sesuatu yang berada di luar teks merupakan patokan yang sangat jelas untuk melakukan identifikasi yang manakah teks dan yang manakah konteks.Oleh karena itu, dalam hubungannya dengan teks, konteks dapat diidentifikasi dengan jelas dan tidak dimungkinkan mengacu pada teks itu sendiri.
Secara umum terdapat dua jenis konteks, yaitu (i) konteks linguistik dan (ii) konteks ekstralinguistik. Konteks linguistik merupakan konteks yang berupa realisasi lingual, sedangkan konteks ekstralinguistik merupakan konteks yang tidak berupa realisasi lingual. Konteks linguistik hanya dimiliki oleh teks minimal dan teks parsial. Sementara itu, konteks ekstralinguistik dimiliki oleh teks minimal, teks parsial, dan teks maksimal.








[1] Penulisan “…wacana (teks) …” berarti bahwa kata wacana merupakan bentuk asli yang dikutip dari sumbernya dan kata (teks) adalah tambahan penulis yang dalam buku ini termasuk dalam definisi teks. Karena wacana dan teks dalam buku sumber tidak dibedakan, penyebutan teks dalam dua kurung (teks) dalam buku ini memberikan pemenakanan adanya pembedaan di antara keduanya.

Tuesday, August 15, 2017

Mendefinisikan Pengertian Teks

1. Pengantar


Pengertian istilah teks yang banyak digunakan selama ini, sebagaimana dijelaskan dalam bab 3, memiliki sejumlah kelemahan. Kelemahan utama yang terkandung dalam istilah teks selama ini, pertama, adalah digunakan secara tumpang tindih dengan istilah wacana  Di satu sisi, kadang kala istilah teks dan wacana dibedakan tetapi, di sisi lain, keduanya disamakan dan digunakan secara bergantian. Kedua, istiah teks dipandang secara struktural sebagai sebuah produk lingual yang terdiri atas kalimat-kalimat. Di sini, istilah teks digambarkan sebagai sebuah karya tulis seperti esai, narasi, syair lagu, dan lain sebagainya atau sebuah kegiatan berbahasa lisan seperti percakapan, memberi kuliah, pidato, dan lain sebagainya. Gambaran istilah teks seperti itu mengabaikan banyak fakta ligual dalam kehidupan sehari-hari yang hanya terdiri atas satu kalimat bahkan hanya satu kata. Ketiga, istilah teks tidak memiliki implikasi inheren terhadap konteks karena definisi struktutralnya.
     Pengunaan istilah teks dan wacana yang tumpang tindih dan pemahaman cakupan istilah teks yang mengabaikan banyak fakta lingual menjadikan definisi istilah teks sangat penting. Tujuan yang akan dicapai oleh definisi teks ini, dengan demikian, adalah, pertama, untuk memungkinkan istilah teks dapat mencakup semua fakta lingual yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, definisi teks diharapkan dapat mendudukkan perbedaan antara istilah teks dengan istilah wacana secara signifikan. Artinya, perbedaan tersebut bukan bersifat terminologis belaka tetapi memiliki implikasi metodologis. Terakhir, definisi teks juga harus mampu memperlihatkan bahwa konteks merupakan unsur inheren yang tidak dapat diletakkan di antara kutub analisis kontekstual dengan kutub analisis tekstual.
     Di dalam bab ini pembahasan definisi teks dimulai dari definisi-definisi teks yang sudah ada yang tidak bernuansa struktural. Definisi pertama didasarkan pada aspek isi teks dan definisi kedua didasarkan pada aspek penggunaannya. Berdasarkan dua definisi tersebut, bab ini mengajukan definisi teks yang akan digunakan sebagai acuan untuk bab-bab berikutnya.

2. Teks: Satuan Bahasa Beramanat Lengkap

Sumber utama permasalahan dalam definisi istilah wacana yang disamakan dengan istilah teks dalam tradisi struktural adalah sikap ambivalen mereka terhadap sebuah fakta lingual. Di satu sisi, mereka memandang teks sebagai satuan bahasa yang secara struktural menduduki hirarki tertinggi setelah satuan bahasa kalimat. Di sini teks didefinisikan berdasarkan urutan struktural satuan bahasa mulai dari fonem, morfem, frasa, klausa, kalimat, dan wacana Definisi ini sama sekali tidak berurusan dengan fakta-fakta bahasa dalam penggunaan dan analisis yang dilakukan dinamakan analisis tekstual. Di sisi lain, mereka mengakui peran konteks dalam bahasa yang berarti pandangannya bersifat fungsional dan menggunakan istilah analisis kontekstual. Dengan demikian, kita dapat melakukan analisis kontekstual yang tidak tekstual dan analisis tekstual yang tidak kontekstual. Permasalahan dalam hal ini dibahas secara khusus dalam bab 5 dan bab 6.
     Dibandingkan dari definisi-definisi wacana (teks)[1] yang ada, Kridalaksana (1983:179) tidak mendefinisikan wacana (teks) sebagai satuan bahasa di atas kalimat. Dia hanya menyebutkan bahwa “wacana (teks) adalah satuan bahasa terlengkap; dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar”. Itulah sebabnya dia dapat mengatakan bahwa wacana dapat berupa “karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dsb.), paragraf, kalimat atau kata yang membawa amanat yang lengkap”.
     Definisi wacana (teks) menurut Kridalaksana sudah memasukkan pandangan fungsional secara eksplisit dengan mengatakan “membawa amanat yang lengkap”. Itu berarti bahwa batasan wacana (teks) ditentukan oleh kelengkapan amanatnya. Sebenarnya, pandangan fungsional yang saya sebutkan hanyalah penafsiran saya terhadap definisi tersebut. Kridalaksana sendiri tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan “membawa amanat yang lengkap” karena hanya berupa definisi di kamus linguistiknya. Mungkin saja, pandangan wacananya (teks) tetap struktural dengan alasan dalam pandangan struktural klasik kalimat adalah hirarki satuan bahasa tertinggi karena membawa amanat yang lengkap. Sebuah kata seperti fakta-fakta lingual (IV.1) secara gramatikal adalah kalimat dan karenanya membawa amanat yang lengkap.

 (IV.1)  a.  A berkata: “Pergi!”
            b. A berkata: “Keluar!”
            c. A berkata: “Masuk.”

Tidak jelas apakah yang dimaksud dengan “membawa amanat yang lengkap” itu berdasarkan fungsi sosialnya atau karena bentuk strukturnya. Dalam pandangan strukturalisme klasik, wacana (teks) juga dikatakan memiliki struktur sebagaimana kontituen-konstituen di bawahnya. Tidaklah tepat apabila di sini penafsiran-penafsiran dikembangkan untuk menjelaskan definisi wacana (teks) tersebut. Satu hal terpenting  adalah bahwa definisi wacana (teks) menurut Kridalaksana tersebut setidaknya dapat mencakup fakta-fakta lingual yang hanya terdiri atas satu kata yang selama ini tidak tersentuh oleh definisi wacana (teks) secara struktural.
     Yang menjadi permasalahan adalah bahwa sebuah realisasi lingual yang memiliki amanat yang lengkap dapat berupa sebuah realisasi lingual yang tidak alamiah. Artinya adalah bahwa realisasi lingual tersebut mugkin saja sebuah kalimat yang dibuat sebagai sebuah contoh dalam buku tata bahasa. Karena berupa sebuah kalimat, tentu saja realisasi lingual tersebut memiliki amanat yang lengkap. Misalnya, sebuah buku tata bahasa menampilkan contoh (IV.2) untuk memperlihatkan penggunaan verba memberi dan memberikan secara gramatikal.

(IV. 2) a.  Amin memberi adiknya sebuah buku.
            b. Amin memberikan sebuah buku kepada adiknya

Baik kalimat (IV.2.a) maupun (IV.2.b) merupakan dua kalimat yang tentu saja memiliki amanat yang lengkap. Tidak satupun penutur bahasa Indonesia yang akan mengatakan bahwa kedua kalimat tersebut tidak membawa amanat yang lengkap. Karena kedua kalimat tersebut membawa amanat yang lengkap, maka baik kalimat (IV.2.a) maupun (IV.2.b) dapat menjadi objek kajian anlisis teks. Simpulan tersebut logis dan sah berdasarkan definisi teks yang di dalamnya mengandung unsur membawa amanat yang lengkap.
     Meskipun definisi teks sebagai satuan bahasa beramanat lengkap sudah dapat mencakup fakta-fakta lingual yang hanya terdiri dari satu kata atau satu fasa dalam kehiduapn sehari-hari, definisi tersebut masih memiliki kelemahan. Kelemahan definisi teks tersebut terletak pada sifat fungsionalnya. Menurut definisi tersebut, teks dapat berupa satuan lingual yang tidak alamiah atau secara nyata merupakan realisasi yang digunakan dalam komunikasi seperti kalimat (IV.2). Sementara itu, satuan lingual yang tidak alamiah atau secara nyata dalam komunikasi seperti kalimat (IV.2) tidaklah dijadikan objek kajian analisis teks. Realisasi lingual (IV.2) merupakan objek kajian sintaksis. Oleh karena itu, definisi teks sebagai satuan lingual yang beramanat lengkap juga masih perlu disempurnakan.

3. Teks: Bahasa dalam Penggunaan

Jika pandangan struktural terhadap bahasa terfokus pada bagaimana struktur formalnya, pandangan fungsional terhadap bahasa terfokus pada fungsi sosialnya. Bahasa, menurut madzhab fungsional, tidaklah sebuah fakta yang berdiri sendiri. Fakta bahasa selalu terkait dengan fungsi sosial. Itu berarti bahwa bahasa tidak dilepaskan dari konteks penggunaannya dan menggunakan bahasa dalam penggunaan (language in use) sebagai dasar pijakan untuk analisisnya. Itulah sebabnya istilah ‘bahasa dalam penggunaan’ menjadi kata kunci dalam analisis teks secara fungsional.
     Pada awalnya, Fairclough (1992:4) menyatakan teks sebagai “any product whether written or spoken ... ... linguistic texts” dan wacana adalah “spoken or written language use ........ as a form of social practice, rather than a purely individual activity or reflux of situational variables” (Fairclough, 1992: 62-63). Tampak bahwa apa yang dimaksud oleh Fairclough dengan istilah teks adalah produk lingual lisan dan tulis secara individual dan istilah wacana adalah fakta lingual sebagai proses sosial dan karenanya tidak berupa sebuah teks secara individual. Perbedaan istilah teks dan wacana tersebut berimplikasi langsung pada pengertian analisis teks dan analisis wacana.
     Pembedaan istilah teks dari wacana tetap dipertahankan oleh Fairclough pada perkembangan selanjutnya. Fairclough (2003:3) mendefinsikan teks sebagai semua bentuk nyata bahasa dalam penggunaan (any actual instance of language in use), mencakup teks tulis dan lisan seperti daftar belanja, artikel surat kabar, transkrip percakapan lisan, dan transkrip wawancara. Termasuk juga di dalam definisi teks, menurut Fairclough, adalah program telivisi dan webpage meskipun sangat terbatas karena program telivisi dan webpage juga menyertakan grambar visual dan efek suara. Sementara itu, wacana didefinisikan sebagai “the particular view of language in use ......... as an element of social life which is closely interconected with other elements” (Fairclough, 2003:3). Istilah wacana tersebut mencakup (i) pengertian umum ‘wacana’ (discourse without an article, Fairclough 1992:3) untuk mengacu pada pandangannya terhadap bahasa sebagaimana tampak pada definisi wacana dan (ii) pengertian khusus ‘sebuah wacana’ (discourse wiht an article, Fairclough 1992:3) untuk mengacu pada pandangan teoretis-sosial tertentu seperti ‘sebuah wacana komersialisasi pendidikan’.
     Definisi teks menurut Fairclough tersebut memiliki asumsi dan implikasi bahwa, pertama, teks bersifat nyata (actual), yaitu produk lingual yang sudah dituliskan atau dituturkan dan dapat kita temukan dalam kehidupan sosial masyarakat. Implikasinya adalah apa yang sedang dipikirkan dalam bentuk bahasa oleh seseorang di dalam benaknya tidak termasuk dalam pengertian teks di sini. Begitu juga, realisasi lingual yang digunakan untuk kepentingan contoh seperti (IV.2) juga tidak termasuk dalam pengertian teks ini. Kedua, karena berupa ‘bahasa dalam penggunaan’, teks bersifat kontekstual. Itu berarti tidak ada teks tanpa konteks atau konteks tidak dapat dipisahkan dari teks. Ketiga, karena kata kuncinya adalah ‘bahasa dalam penggunaan’, teks tidak ditentukan oleh kuantitas realisasi bahasanya, sehingga sebuah teks dapat berupa hanya satu kata seperti kata ‘buka’ dan ‘tutup’ di pintu toko atau berseri-seri buku seperti ensiklopdia. Terakhir, karena bersifat kontekstual, teks tidak ditentukan oleh kualitas koherensi lingualnya, sehingga sebuah teks juga dapat berupa rangkaian ekspresi lingual yang secara lahiriah tidak memiliki koherensi lingual seperti contoh (III.4) dalam bab 3. Meskipun tidak memiliki koherensi lingual, contoh (III.4) memiliki koherensi kontekstual, yaitu daya keterpahaman menurut konteksnya.
     Sebagai titik tolak awal, pengertian teks yang digunakan dalam buku ini didasarkan pada asumsi dan implikasi definisi teks menurut Fairclough yang disebutkan di atas. Akan tetapi, elaborasi lebih lanjut perlu diberikan untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan ‘teks tidak ditentukan oleh kuantitas realisasi bahasanya’. Secara singkat, di atas telah disebutkan bahwa teks secara formal dapat berupa satu kata dan bahkan berjilid-jilid buku. Akan tetapi, pengertian teks juga dapat diperluas sebagai bagian dari sebuah teks.
Sebuah contoh yang mudah akan disajikan sebagai ilustrasinya. Buku adalah contoh nyata sebuah teks, sehingga kita dapat menyebutnya teks buku. Sebuah teks buku pada umumnya memiliki bentuk struktur formal seperti tampak pada Gambar 1.

Gambar 1 Struktur Formal Teks Buku dan Fungsinya

Bagian-bagian teks buku tersebut dapat juga dinyatakan sebagai teks, sehingga kita dapat mengatakan teks judul, teks daftar isi, teks kata pengantar, dan seterusnya. Alasannya jelas bahwa teks-teks yang terdapat dalam teks buku tersebut juga merupakan bentuk bahasa dalam penggunaan. Dengan pengertian tersebut, mungkin saja kita mendapati sebuah teks di dalam teks.
Di samping itu, terdapat pengertian lain tentang teks yang terdapat dalam teks. Fairclough (2003:6) mengemukakan bahwa analisis terhadap teks dapat difokuskan hanya pada beberapa unsur dalam teks (a selected few features of text). Misalnya adalah beberapa kata kunci dari sebuah korpus teks dan menganalisis perilaku kata-kata kunci tersebut seperti yang dilakukan oleh Fairclough (1992:187-190) dengan kata enterprise. Contoh lainnya adalah ketika kita hanya memilih kata-kata sapaan sebagai objek analisis bahasa dalam penggunaan. Kata-kata sapaan yang dianalisis dapat difokuskan hanya yang ditemukan dalam jenis teks tertentu atau dalam beragam jenis teks.
Di sini Fairclough tidak menyebut unsur-unsur tertentu dalam teks seperti kata-kata kunci sebagai teks. Dengan demikian, definisi teks sebagai semua bentuk nyata bahasa dalam penggunaan yang diajukan oleh Fairclough menghadapi permasalahan. Unsur-unsur tertentu dalam sebuah teks seperti kata-kata kunci, kata-kata sapaan, bentuk-bentuk nominalisasi, dan kata-kata metaforis merupakan bentuk nyata bahasa dalam penggunaan. Akan tetapi, mengapa Fairclough tidak menyebutnya sebagai teks tetapi sebagai unsur-unsur tertentu dalam teks. Bagaimana dengan kata pengantar yang kita temukan dalam buku? Sebagai bagian dari sebuah teks, yaitu teks buku, apakah kata pengantar termasuk sebuah teks atau unsur-unsur tertentu dalam teks sebagaimana kata-kata kunci, kata-kata sapaan, bentuk-bentuk nominalisasi, dan kata-kata metaforis?
Apabila unsur-unsur tertentu dalam sebuah teks dikatakan sebagai teks, permasalahan yang muncul adalah bahwa sebuah teks dapat disusun atas teks-teks. Dalam pengertian contoh buku sebagai sebuah teks, hal itu mudah dipahami dan sangat memungkinkan buku disusun atas teks-teks. Akan tetapi, pada tingkat yang lebih jauh, apabila sebuah teks hanya terdiri atas sebuah frasa, itu berarti bahwa setiap kata pembentuknya adalah juga teks. Simpulan itu logis karena setiap kata dapat dianilisis sebagai bentuk bahasa dalam penggunaan. Sebaliknya, jika unsur-unsur dalam teks tersebut tidak dikatakan sebagai teks, teks yang didefinisikan oleh Fairclough sebagai semua bentuk nyata bahasa dalam penggunaan tidak dapat dibenarkan. Di sinilah permasalahan yang dihadapi oleh definsi teks menurut Fairclough.

4. Rumusan Baru Definisi Teks

Pengertian teks sebagai “satuan lingual yang beramanat lengkap” (Kridalaksana, 1983:179) dalam bagian 4.2 dan sebagai “segala bentuk nyata bahasa dalam penggunaan” (Fairclough, 2003:3) dalam bagian 4.3 telah dapat meliputi bentuk-bentuk penggunaan bahasa yang tidak tercakup dalam definisi teks secara struktural. Dalam definisi tersebut, realisasi teks tidak harus berupa seperti teks pidato atau percakapan tetapi dapat hanya berupa sebuah kata seperti tulisan teks “buka” atau “tutup” yang terpampang pada pintu sebuah kantor. Begitu juga, teks tidak dapat berupa satuan lingual yang tidak secara nyata digunakan dalam komunikasi.
Pada bagian-bagian sebelumnya dalam bab ini, kita telah memahami bahwa tidak semua satuan lingual yang bermanat lengkap dapat dikatakan sebagai teks karena tidak satuan lingual tersebut bukan realisasi lingual yang secara nyata digunakan dalam komunikasi. Begitu juga, kita juga melihat bahwa tidak semua bentuk bahasa dalam penggunaan dapat disebut teks karena tidak beramanat lengkap. Dengan demikian, sejauh ini kita dapat menyetujui bahwa definisi teks mengandung dua pengertian utama, yaitu (i) satuan lingual yang beramanat lengkap dan (ii) semua bentuk satuan ligual yang digunakan secara nyata dalam komunikasi. Pengertian yang pertama mengatasi kekurangan yang terdapat dalam pengertian kedua dan sebaliknya pengertian yang kedua mengatasi kekurangan yang terdapat dalam pengertian pertama.
Untuk mendapatkan ancangan baru definisi teks, kita perlu melakukan elaborasi lebih lanjut dua pengertian yang terkandung dalam teks tersebut. Karena dua pengertian tersebut sudah dibahas dalam dua bagian sebelumnya, pembahasan lebih lanjut ini akan difokuskan pada permasalahan-permasalahan yang terdapat di dalamnya dan berbagai ancangan penyelesaian untuk mengatasinya. Dengan begitu, kita akan mendapatkan sebuah ancangan baru definisi teks yang lebih jelas dan dapat dengan jelas ditunjuk sebagai objek kajian analisis teks.
Karena digunakan sebagai bentuk nyata bahasa dalam komunikasi, dua pengertian yang terkandung dalam rumusan definisi teks tersebut mengisyaratkan bahwa teks merupakan realisasi lingual yang memiliki tujuan sosial. Tujuan sosial teks tersebut tidak lain adalah untuk menyampaikan amanat yang terdapat dalam diri penutur dalam sebuah komunikasi. Tujuan sosial dan realisasi lingual dalam sebuah teks merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu dari lainnya seperti tampak pada Gambar 2.

Gambar 2  Sifat Dwi-dimensional Teks

Misalnya, sebuah fakta lingual dikatakan sebagai sebuah ‘teks iklan’ karena secara fungsional teks tersebut memiliki tujuan sosial bebeda dari fakta lingual yang disebut dengan ‘teks daftar belanja’ atau ‘teks berita’. Tujuan sosial yang terkandung dalam sebuah teks tersebut mengikat sebuah realisasi lingual sebagai ‘satu kesatuan fungsional’ yang menjadi amanat teks tersebut. Realisasi lingual sebagai satu kesatuan fungsional tersebut dapat berupa satu kata seperti ‘buka’ dan ‘tutup’ yang terdapat di pintu sebuah toko atau berseri-seri buku seperti ensiklopedia.
Pada dasarnya, setiap teks memiliki dua tujuan sosial di dalamnya sekaligus. Kedua tujuan sosial yang dimiliki oleh setiap teks tersebut adalah (i) tujuan interaksional dan (ii) tujuan transaksional (Brown dan Yule, 1983). Tujuan interaksional dan transaksional dapat disamakan dengan apa yang disebut Halliday (1978) dengan (i) fungsi interpersonal dan (ii) fungsi ideasional. Fungsi interpersonal teks mengacu pada tujuan teks untuk membangun relasi sosial antar partisipan dan fungsi ideasional teks mengacu pada tujuan teks untuk mempresentasikan pandangan dunia (world view) penutur tentang sesuatu. Dengan kata lain, amanat yang terkandung dalam sebuah teks terdiri atas dua amanat, yaitu (i) amanat interpersonal dan (ii) amanat ideasional.
Misalnya, diberikan kepada kita satuan-satuan lingual seperti dalam (IV.3).

(IV. 3) a. Ibu.
            b. Bibit unggul.

Pertanyaannya adalah apakah kita dapat melakukan analisis terhadap satuan-satuan lingual tersebut. Kita dapat memahami arti setiap satuan lingual tersebut berdasarkan pengetahuan leksikon yang terdapat dalam mental kita atau berdasarkan penjelasan kamus. Namun, jelas sekali kita tidak dapat memahami makna dan maksud satuan-satuan lingual tersebut. Begitu juga, kita tidak dapat menganalisis apa tujuan sosial dari satuan lingual dalam (IV.3). Oleh karena itu,  jelas bahwa satuan lingual (IV.3) tidak dapat dikatakan teks.
Bagaimana jika kedua satuan lingual tersebut sebenarnya diambil dari satuan lingual yang memang nyata digunakan dalam komunikasi? Jika memang demikian asal muasalnya, kedua satuan lingual tersebut memenuhi unsur pengertian teks dari sisi bahwa keduanya merupakan bentuk bahasa dalam penggunaan. Akan tetapi, apabila dilihat dari sisi amanat yang dikandungnya, kedua satuan lingual tersebut tidak dapat dikatakan sebagai teks. Kedua satuan lingual dalam (IV.3) tersebut tampak jelas tidak memiliki amanat yang lengkap. Itu berarti bahwa apa yang dimaksud Fairclough (2003) dengan unsur-unsur tertentu dalam teks tampaknya bukan kata-kata yang mandiri seperti (IV.3).
Apabila satuan lingual ‘ibu’ dalam (IV.3.a) dilengkapi menjadi (IV.4), kita akan melihat sesuatu yang berbeda dari satuan lingual ‘ibu’ dalam (IV.3).

(IV. 4) a. Seorang anak kepada ibunya.
                Anak     : Ibu beli apa?
            b. Seorang pelayan toko  kepada seorang pembeli
                Pelayan : Ibu beli apa?
            c.  Suami kepada istinya
                Suami    : Ibu beli apa?

Apa yang tampak berbeda adalah bahwa di dalam benak kita terdapat nuansa pengertian yang berbeda antara ‘ibu’ dalam (IV.3) dengan ‘ibu’ dalam (IV.4). Tampak bahwa realisasi lingual ‘ibu’ dalam setiap teks pada (IV.4) sudah memiliki sebuah tujuan sosial tertentu. Tujuan sosial realisasi lingual ‘ibu’ tersebut adalah untuk (i) membentuk relasi interpersonal antara seseorang yang dipanggil ‘ibu’ dengan orang yang memanggilnya dan (ii) merepresentasikan pandangan dunia penutur tentang orang yang diacunya.
Kita dapat melihat bahwa perbedaan tujuan sosial setiap satuan lingual ‘ibu’ dalam (IV.4) tidak terletak semata-mata pada arti lingual secara semantis satuan lingual ‘ibu’ itu sendiri dan juga tidak semata-mata pada makna sintaktis hubungannya dengan satuan-satuan lingual lainnya dalam teks tersebut. Satuan lingual ‘ibu’ secara mandiri tidak dapat dikatakan sebagai sebuah teks, meskipun kita mengetahui arti lingualnya berdasarkan leksikon dalam mental penutur bahasa Indonesia atau berdasarkan keterangan dalam kamus. Begitu juga, satuan lingual yang berupa kalimat ‘ibu beli apa?’ tidak dapat dikatakan sebuah teks apabila kalimat tersebut bukan berupa bahasa dalam penggunaan. Kita belum dapat mengetahui dengan pasti apa tujuan sosial satuan lingual ‘ibu’ meskipun dalam kalimat tersebut kita sudah dapat mengetahui makna sintaktisnya.  
Oleh karena itu, untuk menganalisis satuan lingual ‘ibu’ dalam (IV.4), satuan lingual tersebut tidak cukup dianalisis dari segi arti (lexical meaning) dan maknanya (sense atau sentence meaning), tetapi juga maksudnya (speaker’s meaning atau utterance meaning). Begitu juga, realisasi lingual (III.8.b) dan (III.8.c) tidak akan dapat dianalisis tanpa diletakkan bagaimana digunakan dalam interaksi seperti tampak pada (III.10).

(IV. 5)   a. Pertemuan itu juga bisa diartikan sebagai konsensus informal bahwa jika nanti salah satu kandidat yang mereka calonkan dalam Pilpres 2009 tidak lolos, di putaran kedua mereka akan koalisi.

              b. Bibit unggul tidak dapat muncul tanpa pendidikan yang bermutu.

Tampak bahwa realisasi lingual ‘pertemuan’ dan ‘bibit unggul’ tidak dapat dianalisis tanpa menyertakan realisasi lingual lainnya. Tanpa disertai oleh realisasi lingual lainnya, ‘pertemuan’ dan ‘bibit unggul’ tidak memiliki tujuan sosial apa-apa. Sementara itu, realisasi lingual (III.10.a) dan (III.10.b) memiliki tujuan sosial, yaitu memberikan informasi. Oleh karena itu, realisasi lingual ‘pertemuan’ dan ‘bibit unggul’ tidak dapat dikatakan sebagai teks. Yang merupakan teks adalah seluruh realiasi lingual (III.10.a) dan (III.10.b). Realisasi lingual yang menyertai ‘pertemuan’ dan ‘bibit unggul’ juga tidak dapat dikatakan sebagai konteksnya karena realiasi lingual ‘pertemuan’ dan ‘bibit unggul’ bukan sebagai teks. Konteksnya adalah, jika ada, realisasi lingual yang menyertai teks (III.10.a) dan (III.10.b). 
Akan tetapi, realisasi lingual ‘pertemuan’ akan berbeda apabila terdapat dalam teks (III.11).

(III.5)     Ketika bersepeda ke sutau tempat, Amir melihat temannya, Budi, yang sedang berdiri di depan sebuah bangunan. Amir berteriak bertanya sambil mengayuh sepedanya.
               Amir     : Nungguin apa di sana, Mir?
               Budi      : Pertemuan.

Tampak bahwa realisasi lingual ‘pertemuan’ dalam (III.11) memiliki tujuan sosial, yaitu ‘untuk memberikan pernyataan yang diminta’ oleh tujuan sosial teks sebelumnya, yaitu ‘Nungguin aapa di sana, Mir’. Sementara itu, realisasi lingual ‘Nungguin apa di sana’ memiliki tujuan sosial ‘untuk meminta Budi memberi pernyataan’ atau bertanya dan realisasi lingual ‘Mir’ memiliki tujuan sosial ‘untuk mengarahkan permintaan pernyataan’.  Dengan demikian, ketiga realisasi lingual tersebut dapat dikatakan sebagai teks karena ketiganya memiliki tujuan sosialnya masing-masing.
Jika realisasi lingual ‘Bu’ pada teks (III.9) dan ‘Mir’ pada teks (III.11) merupakan realisasi lingual yang berupa satu kata, berbeda halnya dengan realisasi lingual ‘Pertemuan’ pada teks (III.11). Meskipun secara fisik terlihat hanya terdiri atas satu kata, realisasi lingual tersebut merupakan sebuah kalimat yang melesapkan bagian-bagiannya yang lain. Realisasi lingual tersebut tidak dapat dipahami tanpa melihat konteksnya, yaitu teks yang mendahuluinya ‘Nungguin apa di sana’. Melihat konteksnya, realisasi lingual ‘Pertemuan’ pada teks (III.11) merupakan sebuah kalimat dalam pengertian proposisi, yang kurang lebih berarti ‘Aku sedang nungguin pertemuan’.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa teks yang akan digunakan dalam buku ini didefinisikan sebagai ‘realisasi lingual yang memiliki tujuan sosial’. Implikasinya adalah (i) teks merupakan bentuk nyata bahasa dalam penggunaan, (ii) teks bersifat kontekstual, dan (iii) kuantitas teks ditentukan oleh tujuan sosialnya. Berdasarkan tujuan sosialnya, teks dapat berupa realisasi lingual satu kata hingga berseri-seri buku seperti ensiklopedia atau berjam-jam pidato. Definisi teks tersebut sekaligus mengimplikasikan bahwa analisis teks merupakan analisis terhadap realisasi lingual dan tujuan sosialnya sebagai satu kesatuan. Permasalahan analisis teks akan dibahas secara khusus dalam kaitannya dengan pembahasan konteks dalam bab 4.

4.5 Teks Maksimal dan Teks Parsial

Berdasarkan penjelasan tersebut, kita dapat mengenali dua jenis teks yang penting untuk dibedakan. Pertama adalah teks sebagai realisasi lingual yang maksimal, yang untuk itu saya sebut dengan teks maksimal. Lebih jelasnya, teks maksimal adalah teks yang realisasi lingualnya tidak dalam posisi sebagai bagian dari realisasi lingual teks lain. Contoh teks maksimal adalah teks (III.11) yang direalisasikan dalam tiga teks dengan tujuan sosial ‘melakukan transaksi informasi’. Contoh lainnya adalah sebuah teks buku yang tidak berseri dan teks pemberitahuan seperti ‘tutup’, ‘buka’, ‘keluar’, dan ‘masuk’. Kedua adalah teks yang realisasi lingualnya merupakan bagian dari realisasi-realisasi lingual sebuah teks lain, yang untuk itu saya sebut dengan teks parsial. Realisasi lingual ‘Nungguin apa di sana’, ‘Mir’, dan ‘Pertemuan’ dalam teks (III.11) adalah contoh-contoh teks parsial. Meskipun ketiga realisasi lingual tersebut adalah teks, tetapi ketiganya merupakan penyusun teks (III.11).
Pengenalan dua jenis teks ini, yaitu (i) teks maksimal dan (ii) teks parsial penting dilakukan dalam kaitannya dengan pemahaman kita tentang konteks yang akan dibahas dalam bab 4. Untuk lebih jelasnya, contoh-contoh teks secara umum dapat dilihat pada Tabel 1.


Tabel 1. Contoh-contoh Teks

TEKS
Media
Realisasi lngual
Tujuan Sosial
Bentuk Formal
Contoh
Tulis
Satu kata
Buka / Tutup
Menberikan informasi
(keadaan toko)
Lisan
Satu kata
Kiri...
Memberikan perintah
(turun dari angkutan)
Tulis
Satu frasa
No smoking area
Memberikan perintah
Tulis
Satu Kalimat tunggal
Jangan dibanding
Memberikan perintah
Lisan
Satu Kalimat kompleks
Penumpang yang akan melanjutkan perjalanan ke tujuan selanjutnya harap menghubungi petugas check in
Memberikan informasi



Tulis
Satu atau lebih paragraf
Realisasi lingual dalam Kata Pengantar
Memberikan informasi

6. Ringkasan

Pengertian teks sebagai “satuan lingual yang beramanat





[1] [1] Penulisan “wacana (teks)” memiliki arti bahwa istilah wacana merupakan istilah asli dari sumber yang sedang dibahas. Istilah wacana dari sumber tersebut dalam buku ini sebenarnya termasuk dalam definisi istilah teks. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa apa yang didefinisikan di tempat lain sebagai “wacana” di dalam buku ini didefinisikan sebagai “teks”. Kuncinya adalah apabila istilah “wacana’ didefinisikan sebagai sebuah produk lingual apapun bentuknya, istilah “wacana” tersebut didefinisikan sebagai istilah “teks” dalam buku ini.