Monday, August 21, 2017

Ihwal Pengertian Konteks


5.1 Pengantar

Sebagai sebuah bentuk nyata bahasa dalam penggunaan, teks tidak hadir dalam sebuah ruang sosial yang kosong. Kehadiran sebuah teks secara inheren mengimplikasikan kehadiran unsur-unsur lain. Unsur-unsur lain yang hadir bersama teks tersebut disebut dengan konteks. Dengan kata lain, konteks adalah yang menyertai hadirnya sebuah teks. Tidak ada pembicaraan mengenai konteks tanpa ada teks. Begitu juga, tidak ada pembicaraan mengenai teks tanpa konteks.
Secara sepintas hubungan teks dengan konteks telah disinggung dalam Bab 4. Bahkan, konteks merupakan implikasi langsung dari definisi teks sebagai realisasi lingual yang memiliki tujuan sosial. Dengan kata lain, tidak adak teks yang tidak bersifat kontekstual karena teks merupakan bentuk nyata bahasa dalam penggunaan dan, dengan demikina, berada dalam ruang sosial (social sphere). Oleh karena itu, hubungan antara teks dengan konteks juga merupakan dua sisi mata uang. Hal tersebut merupakan turunan langsung dari hubungan antara realisasi lingual teks dengan tujuan sosial teks.
Pada kenyataannya, pengertian konteks secara umum menjadi tumpah tindih sebagaimana pengertian teks. Tumpang tindih pengertian konteks tersebut disebabkan oleh dan merupakan akibat langsung dari kekaburan pengertian istilah teks yang diajukan oleh para linguis sebagaimana tampak dalam pembahasan Bab 3 dan bagian awal Bab 4. Tidak mengherankan apabila pengertian konteks sering merujuk pada teks itu sendiri. Dengan kata lain, terdapat pengertian yang tumpang tindih antara teks dan konteks sehingga posisi dan peran keduanya menjadi kabur. Kita akan membahas permasalahan tersebut pada akhir bagian ini setelah pengertian konteks yang dipaparkan.
Bab 4 ini akan membahas permasalahan konteks dan secara lebih mendalam relasi antara teks dengan konteks. Permasalahan konteks ini perlu dibicarakan untuk mempertegas pengertian teks dan untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan konteks dalam kaitannya dengan pengertian teks dalam Bab 4 bagian 4.4. Di samping itu, pembahasan yang dilakukan juga akan mendalami hubungan antara teks dengan konteks. Dengan memahami pengertian teks, konteks, dan hubungan keduanya, kita dapat mengetahui dengan baik apa objek, metode, dan tujuan analisis teks

5.2 Kajian Kritis tentang Konteks


Sumarlam (2003:47) menyatakan bahwa “konteks wacana (teks)[1] adalah aspek-aspek internal wacana (teks) dan segala sesuatu yang secara eksternal melingkupi sebuah wacana (teks)”. Konteks internal teks tersebut berupa bahasa dan konteks eksternal teks adalah konteks situasi dan budaya. Untuk dapat melihat permasalahan yang ditimbulkan oleh definisi konteks tersebut, definisi tersebut akan disajikan dalam bentuk gambar 5.

 


 Gambar 5. Representasi Definisi Konteks 
Menurut Sumarlam (2003)

Berdasarkan gambar 5, tampak jelas bahwa konteks eksternal dan konteks internal memiliki kedudukan yang sangat berbeda dalam hubungannya dengan teks. Konteks eksternal berdasarkan gambar 5 tampak jelas berada di luar teks. Dapat juga dikatakan bahwa konteks eksternal merupakan sesuatu yang berbeda dan dapat dibedakan dari teks. Sementara itu, konteks internal berada dalam teks itu sendiri. Bahkan, dapat dikatakan konteks internal tidak lain merupakan teks itu sendiri. Permasalahan yang muncul adalah ketika hubungan antara teks dengan konteks internal dicemati secara seksama.
Terdapat hubungan yang tumpang tindih antara teks dengan konteks internal. Konteks internal adalah aspek-aspek internal yang tidak lain adalah aspek-aspek realisasi lingual teks itu sendiri. Konteks internal ini juga sering disebut dengan konteks linguistik. Permasalahannya adalah jika aspek-aspek internal teks yang berupa bahasa adalah konteks, maka teks itu sesungguhnya adalah konteks karena teks tersusun atas aspek-aspek internalnya yang berupa bahasa. Dengan demikian, apa bedanya antara konteks internal atau konteks linguistik dengan teks itu sendiri? Bagaimanakah mungkin teks dapat menjadi konteks bagi dirinya sendiri? Permasalahan tersebut muncul sebagai konsekuensi logis dari ketidakjelasan definisi teks atau dalam definisi wacana menurut para linguis yang telah dibahas dalam bab 3.
Untuk membahas secara mendalam permasalahan hubungan antara konteks dengan teks, teks (IV.8) dalam bab 4 disajikan kembali dalam (V.1).

(V.1)      a. Pembeli  : Beli
               b.  Penjual   : Beli apa, Dik?
               c.  Pembeli  : Biskuat
               d.  Penjual   : Berapa, Dik?
               e.  Pembeli  : Dua
               f.  Penjual   : Ini

Menurut definisi konteks yang diajukan oleh Sumarlam (2003:47), keenam kalimat dalam teks (V.1) merupakan konteks internal. Akan tetapi, keenam kalimat tersebut secara keseluruhan juga merupakan teks (atau wacana menurutnya). Yang menjadi pertanyaan adalah ketika kita sedang melakukan analisis teks (V.1), kita melakukan analisis teks atau analisis konteks. Di samping itu, manakah batas-batas antara konteks internal dengan teksnya, sehingga kita dapat mengidentifikasi manakah yang merupakan teks dan manakah yang merupakan konteks?
Implikasi lebih jauh yang diakibatkannya juga berkaitan dengan pembedaan yang selama ini dikenal dengan analisis tekstual dan analisis kontekstual. Sumarlam (2006:22-31) menyatakan bahwa “analisis tekstual adalah analisis wacana (teks) yang bertumpu secara internal pada teks yang dikaji” dan “analisis kontekstual adalah analisis wacana (teks) dengan bertumpu pada teks yang dikaji berdasarkan konteks eksternal yang melingkupinya”. Kita ketahui bahwa baik analisis tekstual maupun analisis kontekstual pada hakikatnya didasarkan pada konteks. Yang pertama didasarkan pada konteks internal dan yang kedua pada konteks eksternal. Yang menjadi pertanyaan mengapa hanya yang kedua yang disebut analisis kontekstual. Pembedaan analisis tekstual dan kontekstual tersebut akhirnya mengisyaratkan bahwa analisis tekstual bukanlah analisis kontekstual dan, dengan demikian, tidak berdasarkan konteks.
Jika aspek-aspek internal teks yang berupa bahasa merupakan konteks internal, maka analisis yang bertumpu pada aspek-aspek internal teks secara logis juga harus dikatakan sebagai analisis kontekstual. Tampak bahwa, sebagaimana pengertian teks, pengertian konteks juga merupakan sesuatu yang selama ini dipandang sebagai hal yang sudah taken for granted, yakni hal yang seolah-olah sudah kita pahami dengan jelas. Apa yang dapat kita lihat sejauh ini adalah bahwa terdapat kekaburan apa yang disebut dengan konteks. Kekaburan tersebut, sebagaimana selalu diingatkan dalam buku ini, disebabkan oleh kekaburan pengertian teks dan wacana. Secara logis tentunya kita tidak dapat menentukan konteks jika kita belum dapat menentukan teks.
Permasalahan konteks dalam kaitannya dengan teks juga tidak dibahas secara jelas oleh Brown dan Yule (1983), Lubis (1993), Schiffrin (1994), Eriyanto (2001), Sobur (2001), dan Rani et. al. (2004). Mereka pada umumnya mencampurbaurkan (i) pengertian konteks dari sebuah teks sebagai satu kesatuan seperti konteks dari teks maksimal (V.1) dengan (ii) pengertian konteks dari teks-teks parsial pembentuk teks maksimal. Kedua bentuk konteks tersebut biasanya dikelompokkan ke dalam (i) konteks linguistik dan konteks non-linguistik (Lubis 1993, Rani et. al. 2000), (ii) konteks internal dan konteks eksternal (Sumarlam 2003), atau (iii) konteks intrinsik dan konteks ekstinsik (Schegloff 1992). Kedua bentuk konteks yang berbeda posisi tersebut, yaitu konteks dari teks maksimal dan konteks dari teks parsial dan minimal, menurut mereka dianggap memiliki posisi yang sama, yaitu sebagai konteks dari sebuah teks maksimal. Pengertian itu sama dengan menyatakan bahwa, di samping konteks situasi dan budaya, konteks dari teks maksimal (V.1) adalah teks-teks parsial dan teks-teks minimal dari teks (V.1) itu sendiri.
Simpang siur pengertian konteks tersebut tidak dapat dipisahkan dari permasalahan-permasalahan yang ditimbulkan oleh definisi teks yang telah dibahas dalam bab 3. Saya sependapat dengan Wood dan Kroger (2000:127) yang menyatakan konteks sebagai “information that is outside the text being analyzed”. Akan tetapi, saya tidak sependapat dengan Wood dan Kroger (2000:128) ketika mereka hanya menerapkan konteks dalam pengertian ekstralinguistik seperti kelas, etnik, jender, suku, kekuasaan, dan tatanan institusional seperti tatanan hukum. Pemahaman seperti itu muncul karena definisi teks dipahami secara formal sehingga tidak melihat kemungkinan teks sebagai realisasi lingual sebuah teks. Jika analisis difokuskan hanya pada sebuah teks parsial yang terdapat dalam sebuah teks maksimal, tentunya kita akan mendapati konteks lingustik di samping konteks ekstralinguistik.
Pengertian konteks hanya dalam pengertian konteks ekstralinguistik juga diajukan oleh Schiffrin (1994:364) yang menyatakan bahwa konteks adalah

world filled with people producing utterances: people who have social, cultural, and personal identities, knowledge, belief, goals and wants, and who interact with one another in various socially and culturally defined situations

Sebuah pengertian konteks yang diajukan oleh para linguis selalu dapat dirujuk kembali pada pengertian teks yang mereka ajukan. Konteks diartikan demikian karena teks menurut Schiffrin (1994:363) adalah “linguistic material” sedangkan konteks adalah “envoronment in which “saying” .... occur”. Tampaknya Schiffrin tidak menyadari bahwa “saying” atau teks dapat terjadi dalam lingkungan teks lainnya seperti dalam sebuah percakapan yang pada hakikatnya merupakan pertukaran teks antarpartisipannya. Meskipun demikian, pengertian konteks menurut Schiffrin tersebut setidaknya mengisyaratkna bahwa konteks berada di luar teks dan dapat digunakan ketika kita berbicara tentang konteks ekstralinguistik.

5.3 Memamahi Pengertian Konteks


Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, konteks merupakan unsur-unsur di luar teks yang menyertai hadirnya sebuah teks. Itu berarti bahwa secara tegas konteks berada di luar teks. Dapat juga dikatakan bahwa batas antara teks dengan konteks dapat diidentifikasi dengan jelas. Pengertian dasar konteks ini sama dengan apa yang dikatakan oleh Wood dan Kroger (2000:127) bahwa konteks adalah “information that is outside the text being analyzed”. Manakah yang menjadi konteks hanya dapat diidentifikasi apabila manakah yang menjadi teks juga sudah dapat diidentifikasi.
Berdasarkan definisi teks yang telah disajikan pada Bab 4 bagian 4.4, hubungan antara teks dengan konteks memiliki posisi yang jelas. Teks (V.1) adalah sebuah teks maksimal dengan tiga teks parsial dan enam teks minimal. Keenam teks minimal penyusun teks (V.1) membentuk sebuah teks maksimal sebagai satu kesatuan berdasarkan tujuan sosial yang dimilikinya. Meskipun setiap teks minimal dan parsial memiliki tujuan sosialnya masing-masing, semua teks minimal dan parsial tersebut dihasilkan untuk mencapai tujuan sosial teks maksimal (V.1). Karena diikat oleh tujuan sosialnya untuk melakukan transaksi barang dan jasa, keenam teks minimal dan tiga teks parsial tersebut tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Oleh karena itu, untuk memahami teks maksimal (V.1), kita harus memahami seluruh teks mnimal dan teks parsial pembentuknya. Tentu saja, tujuan sosial transaksi barang dan jasa tidak harus dicapai dengan melalui realisasi enam teks minimal dan tiga teks parsial seperti teks (V.1). Tujuan sosial transaksi barang dan jasa dapat dicapai dengan dua teks minimal dan dua teks parsial saja dan bahkan sebuah teks maksimal dan sebuah teks parsial seperti tampak pada teks maksimal (V.2) dan (V.3).
(V.2)    Pembeli          : Beli biskuat satu ---       1
                                     (sambil memberikan uang)
            Penjual           : Ini --------------------       2
           
(V.3)    Pembeli          : Beli biskuat satu ---       1
                                     (sambil memberikan uang)
            Penjual           : (memberikan barang)

Dengan pengertian konteks adalah yang menyertai teks dan yang berada di luar teks, kita dapat memahami bahwa teks-teks minimal dan teks-teks parsial penyusun teks maksimal (V.1) tersebut dapat saling menjadi konteks bagi satu dengan lainnya. Untuk dapat memahami teks minimal (V.1.d), kita harus memperhitungkan teks minimal (V.1.a), (V.1.b), (V.1.c), (V.1.e), dan (V.1.f). Dalam hal ini, teks minimal (V.1.a), (V.1.b), (V.1.c), (V.1.e), dan (V.1.f) merupakan konteks bagi teks parsial (V.1.d). Tanpa menyertakan teks (V.1.a), (V.1.b), (V.1.c), (V.1.e), dan (V.1.f) sebagai konteksnya, kita tidak dapat memahami amanat teks minimal (V.1.d) ‘Berapa, Dik?’. Akan tetapi, dengan menyertakan teks minimal (V.1.a), (V.1.b), (V.1.c), (V.1.e), dan (V.1.f) sebagai konteksnya, kita dapat mengetahui bahwa amanat teks minimal (V.1.d) ‘Berapa, Dik?’ adalah ‘Berapa banyak biskuat yang ingin dibeli?’.
Meskipun amanat setiap teks minimal yang terdapat dalam teks maksimal (V.1) dapat dipahami berdasarkan teks-teks minimal lainnya sebagai konteksnya, apa yang dikandung seluruhnya oleh teks maksimal (V.1) belum dapat dipahami jika belum dihubungkan dengan konteks yang menyertai teks maksimal (V.1) sebagai satu kesatuan. Kita tidak dapat mengatakan bahwa keenam teks minimal dan  tiga teks parsial pembentuk teks (V.1) merupakan konteks dari teks maksimal (V.1). Dengan kata lain, keenam teks minimal dan tiga teks parsial pembentuk teks maksimal (V.1) tidak dapat menjadi konteks dari teks maksimal (IV.1) karena teks-teks minimal dan teks-teks parsial tersebut pada hakikatnya adalah bagian dari teks maksimal (V.1) itu sendiri. Sementara itu, konteks adalah unsur-unsur di luar teks. Jadi, konteks dari teks maksimal (V.1) pastilah unsur-unsur selain teks-teks yang menjadi unsur pembentuknya. Relasi antara teks parsial dengan konteksnya dan antara teks maksimal dengan konteksnya dapat dilihat dalam gambar 6.





Gambar 6. Relasi antara Teks (V.1) dengan Konteksnya.

Berdasarkan gambar 6, tampak bahwa konteks dari teks maksimal (V.1) sebagai satu kesatuan adalah konteks situasi dan budaya yang menyertai teks maksimal (V.1). Karena konteks situasi dan budaya merupakan konteks dari teks maksimal (V.1), maka konteks situasi dan budaya dari teks maksimal tersebut secara otomatis juga merupakan konteks situasi dan budaya dari teks parsial dan teks minimal. Di samping itu, konteks dari teks parsial A adalah teks parsial B dan C, konteks dari teks parsial B adalah teks parsial A dan C, dan konteks dari teks parsial C adalah teks parsial A dan B. Semantara itu, konteks dari teks minimal (V.1.a) adalah teks minimal (V.1.b), (V.1.c), (V.1.d), (V.1.e), dan (V.1.f), konteks dari teks minimal (V.1.b) adalah teks minimal (V.1.a), (V.1.c), (V.1.d), (V.1.e), dan (V.1.f), konteks dari teks minimal (V.1.c) adalah teks minimal (V.1.a), (V.1.b), (V.1.d), (V.1.e), dan (V.1.f), konteks dari teks minimal (V.1.d) adalah teks minimal (V.1.a), (V.1.b), (V.1.c), (V.1.e), dan (V.1.f), konteks dari teks minimal (V.1.e) adalah teks minimal (V.1.a), (V.1.b), (V.1.c), (V.1.d), dan (V.1.f), dan konteks dari teks minimal (V.1.f) adalah teks minimal (V.1.a), (V.1.b), (V.1.c), (V.1.d), dan (V.1.e).
Dengan demikian, tampak dengan jelas bahwa teks dan konteks memiliki posisi yang tidak tumpang tindih. Konteks adalah unsur-unsur di luar yang menyertai teks. Oleh karena itu, konteks dari teks maksimal (V.1) sebagai satu kesatuan adalah konteks situasi dan budaya. Keenam teks minimal dalam teks maksimal (V.1) dapat menjadi konteks hanya untuk teks minimal lainnya. Begitu juga, ketiga teks parsial dalam teks maksimal (V.1) hanya dapat menjadi konteks untuk teks parsial lainnya.  Keenam teks minimal dan ketiga teks parsial tersebut tidak dapat menjadi konteks untuk teks maksimal (V.1). Karena teks-teks minimal dan teks-teks tersebut merupakan bagian atau di dalam teks maksimal (V.1) sebagai satu kesatuan, maka keenam teks minimal dan ketiga teks maksimal tersebut tidak dalam posisi sebagai konteks dari teks maksmal (V.1).  Memang benar bahwa untuk memahami teks maksimal (V.1), kita harus memahami realisasi lingualnya yang berupa enam teks minimal dan tiga teks parsial dan relasi teks – konteks di antara teks-teks minimal dan parsial tersebut. Akan tetapi, sekali lagi enam teks minimal dan tiga teks parsial terseut bukanlah dalam posisi sebagai konteks dari teks maksimal (IV.1) sebagai satu kesatuan.
Dengan pengertian bahwa konteks adalah semua informasi di luar teks yang sedang dianalisis, menjadi jelas bahwa teks tidak dapat menjadi konteks karena keberadaan konteks berada di luar teks yang berarti bukan teks itu sendiri. Oleh karena itu, pengertian konteks yang telah dijelaskan dalam bagian ini berbeda dari kecenderungan umum (mainstream) yang menyatakan bahwa baik konteks internal maupun konteks ekternal merupakan konteks dari teks maksimal. Pengertian konteks dan relasinya dengan teks yang digunakan dalam buku ini dapat dikonfigurasikan dalam gambar 7.


  


Gambar 7. Konfigurasi Relasi antara Teks dengan Konteks

Hubungan yang digambarkan dengan tanda panah (à) dalam gambar 7 adalah hubungan kontekstual. Berdasarkan Gambar 7 tersebut, tampak jelas bahwa teks dan konteks memiliki posisi yang berbeda dan masing-masing dapat diidentifikasi sebagai objek yang berbeda. Dalam hal ini, konteks selalu berada di luar objek yang disebut teks. Dengan kata lain, konteks selalu bersifat eksternal. Deskripsi dalam Gambar 7 merupakan deskripsi abstrak yang contoh nyatanya dapat dilihat pada gambar 6. Keduanya dapat dibaca secara bersama. Teks maksimal (Tmaks) memiliki konteks sibu sebagai informasi yang berada di luar teks maksimal yang sedang dianalisis. Teks maksimal (Tmaks) memiliki realisasi lingual yang terdiri atas teks parsial (A) - (z) dan teks minimal (1) – (n). Teks parsial (A) memiliki konteks (B, C, z) dan konteks sibu. Baik konteks (B,C,z) dan konteks sibu berada di luar teks parsial A. Sementara itu, teks minimal (1) memiliki konteks (2, n) dan konteks sibu.  Begitu juga, konteks (2, n) dan konteks sibu berada di luar teks minimal 1. Dengan demikian, jelas bahwa tidak ada bagian dari teks yang menjadi konteks bagi dirinya sendiri sebagaimana disebutkan oleh para linguis lain dengan istilah konteks internal atau konteks intrinsik.

5.4 Jenis Konteks


Ketika kita berbicara tentang amanat sebuah teks, sering sekali kita meloncat menuju konteks. Kita seolah melupakan bahwa konteks tidak memiliki arti sama sekali dan bahkan tidak akan muncul tanpa adanya teks. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, konteks ada karena adanya teks. Begitu juga sebaliknya, teks ada karena adanya konteks. Hubungan satu dengan lainnya adalah hubungan komplementer seperti dua sisi mata uang. Meniadakan salah satunya berarti meniadakan yang lainnya. Oleh karena itu, tidak pada tempatnya jika kita mengatakan salah satunya memiliki peran yang lebih dari yang lain. Yang sesungguhnya perlu dicermati adalah bagaimana teks berhubungan dengan konteks.
Berdasarkan pembahasan bagian 4.1, kita mendapatkan dua jenis konteks. Dua jenis konteks tersebut dibedakan berdasarkan tatarannya sesuai dengan yang dideskripsikan dalam gambar 6 dan gambar 7. Dua jenis konteks tersebut sama sekali tidak mempengaruhi definisi konteks sebagai informasi di luar teks. Yang pertama adalah konteks dalam pengertian konteks Sibu, sedangkan yang kedua adalah konteks dalam pengertian Konteks (A-z) dan konteks (1-n). Konteks Sibu merupakan konteks untuk teks maksimal dan juga berarti untuk teks parsial (A-z) dan teks minimal (1-n). Sementara itu, Konteks (A-z) hanya menjadi konteks untuk teks parsial dan konteks (1-n) hanya menjadi konteks untuk teks minimal.. Relasi antara konteks Sibu dengan teks maksimalnya (Tmaks) membentuk koherensi kontekstual untuk teks maksimal (Tmaks), yaitu keterpahaman teks secara kontekstual. Sementara itu, relasi antara konteks (A–z) dan konteks (1-n) membentuk koherensi tekstual untuk teks maksimal (Tmaks), yaitu keterpahaman teks berdasarkan realisasi ligualnya.
Penting diperhatikan sekali lagi bahwa konteks (A–z) dan konteks (1-n) adalah konteks untuk teks parsial dan teks minimal bukan konteks untuk teks maksimal (Tmaks). Itu disebabkan  karena teks parsial (A– z) dan teks minimal (1-n) merupakan realisasi lingual teks maksimal (Tmaks) itu sendiri. Dengan kata lain, teks parsial (A–z) dan teks minimal (1-n) adalah wujud teks maksimal (Tmaks) itu sendiri. Oleh karena itu, tidak logis apabila teks parsial (A–z) dan teks minimal (1-n) sebagai wujud teks maksimal (Tmaks) menjadi konteks untuk teks maksimal (Tmaks) itu sendiri seperti dikonsepkan dalam Analisis Variasi (Variation Analysis) bahwa “text itself became a context” (Schiffrin 1994:375). Konsisten dengan pemahaman tentang relasi antara teks dengan konteks yang tidak dapat dipisahkan, analisis teks, baik dalam tataran koherensi kontekstual maupun tataran koherensi tekstual, selalu bersifat kontekstual, yaitu didasarkan pada analisis terhadap teks dalam kaitannya dengan konteks pada tatarannya masing-masing.
Dengan demikian, sejauh ini kita dapat membedakan dua jenis konteks. Pertama adalah konteks yang berkaitan dengan teks maksimal (Tmaks). Kedua adalah konteks yang berkaitan dengan teks parsial (A-z) dan teks minimal (1-n). Kita tidak dapat mencampur-baurkan kedua jenis teks tersebut karena memiliki posisi dan peran yang berbeda. Konteks yang pertama adalah konteks situasi dan budaya, sedangkan konteks yang kedua adalah konteks yang secara khusus untuk teks parsial dan teks minimal. Konteks situasi dan budaya memiliki posisi di luar teks maksimal dan, karenanya, secara otomatis juga berada di luar teks parsial dan teks minimal. Konteks situasi dan budaya tersebut memiliki peran membentuk koherensi kontekstual. Sementara itu, konteks yang kedua memiliki posisi yang berkaitan dengan relasi antarteks parsial dan relasi antarteks minimal dalam sebuah teks maksimal. Konteks tersebut memiliki peran membentuk koherensi tekstual. Konteks yang pertama adalah konteks ekstralinguistik dan konteks kedua adalah konteks linguistik. Akan tetapi, harus diingat bahwa konteks ekstralinguistik dan konteks linguistik yang dimaksudkan di sini mempunyai pengertian yang sangat berbeda dari dua jenis konteks yang telah diajukan oleh para analis wacana sebagaimana disebutkan sebelumnya dalam bagian 5.2.

5.5 Rangkuman


Sebagai realisasi lingual yang digunakan secara nyata dalam komunikasi, teks hadir dalam sebuah bingkai. Bingkai yang mengemas hadirnya sebuah teks tersebut disebut dengan konteks. Oleh karena itu, relasi antara teks dengan konteks merupakan relasi yang tidak dapat dipisahkan. Teks sebagaimana telah didefinisikan dalam bab 4 secara inheren mengimplikasikan bahwa tidak ada teks tanpa konteks. Akan tetapi, sebagaimana permasalahan-permasalahan yang terdapat dalam definisi teks, berbagai pengertian konteks yang telah diajukan oleh para linguis juga memiliki persoalan. Persoalan utama dari berbagai pengertian konteks yang telah ada terletak pada (i) kekaburan identitas konteks dan (ii) kemungkinan konteks mengacu pada teks itu sendiri. Dua persoalan tersebut mengakibatkan (i) identitas konteks tidak dapat diidentifikasi dengan jelas dan (ii) konteks dapat berupa teks itu sendiri.
Konteks di dalam bab 5 ini dengan tegas dipahami sebagai segala informasi di luar teks. Dengan kata lain, letak konteks berada di luar teks. Itulah sebabnya konteks selalu bersifat eksternal. Pengertian konteks tersebut memberikan identitas yang jelas pada konteks. Identitasas konteks sebagai sesuatu yang berada di luar teks merupakan patokan yang sangat jelas untuk melakukan identifikasi yang manakah teks dan yang manakah konteks.Oleh karena itu, dalam hubungannya dengan teks, konteks dapat diidentifikasi dengan jelas dan tidak dimungkinkan mengacu pada teks itu sendiri.
Secara umum terdapat dua jenis konteks, yaitu (i) konteks linguistik dan (ii) konteks ekstralinguistik. Konteks linguistik merupakan konteks yang berupa realisasi lingual, sedangkan konteks ekstralinguistik merupakan konteks yang tidak berupa realisasi lingual. Konteks linguistik hanya dimiliki oleh teks minimal dan teks parsial. Sementara itu, konteks ekstralinguistik dimiliki oleh teks minimal, teks parsial, dan teks maksimal.








[1] Penulisan “…wacana (teks) …” berarti bahwa kata wacana merupakan bentuk asli yang dikutip dari sumbernya dan kata (teks) adalah tambahan penulis yang dalam buku ini termasuk dalam definisi teks. Karena wacana dan teks dalam buku sumber tidak dibedakan, penyebutan teks dalam dua kurung (teks) dalam buku ini memberikan pemenakanan adanya pembedaan di antara keduanya.

No comments:

Post a Comment