1. Pengantar
Penggunaan istilah teks dalam linguistik
muncul dan berkembang seiring dengan berkembangnya kajian wacana dalam
linguistik. Sehingga, hampir dapat dipastikan bahwa saat ini istilah teks akan
kita temukan ketika sedang membaca buku analisis wacana. Sementara istilah teks
dalam linguistik sendiri digunakan secara berbeda-beda, istilah teks kemudian
juga digunakan dalam kajian sosial, budaya, dan komunikasi. Kenyataan tersebut
beriringan dengan semakin berkembangnya kajian analisis wacana di luar disiplin
linguistik.
Meskipun berakar dari pemikiran Saussure
tentang semiologi yang membahas relasi antara tanda (signifiant) dengan
petanda (signifie) dalam bahasa, istilah teks dalam ilmu komunikasi
secara luas sering digunakan untuk mengacu baik pada simbol non verbal maupun
pada simbol verbal atau bahasa. Cikal bakal pengertian istilah teks dalam ilmu
komunikasi tersebut sebenarnya dapat dirujuk pada pemikiran Charles Saunders
Peirce (1958) tentang semiotik. Pierce mengenalkan sepuluh kelas tanda (sign)
yang salah satu dimensi klasifikasinya berupa simbol, ikon, dan indeks. Bahasa
dalam klasifikasi tersebut merupakan bagian dari simbol yang dicirikan oleh
Pierce sebagai relasi arbitrer antara tanda (sign) dengan penandaan (signification).
Selain bahasa, simbol dapat berupa cara berpakain seperti berpakaian serba
hitam ketika berkabung.
Di dalam teori realitas sosial dan
budaya, istilah teks didefinsikan secara lebih luas lagi, yaitu untuk mengacu
pada segala peristiwa dan tindakan yang sedang ditafsirkan (Branham dan Pearce
1985). Peristiwa dan tindakan yang sedang ditafsirkan oleh orang tentu saja
dapat berupa peristiwa bahasa atau yang lainnya. Pandangan serupa juga dapat kita temukan
dalam kajian psikologi sosial yang menyatakan teks sebagai segala bentuk
reproduksi makna yang interpretasinya dapat dieksplanasi (Parker 1989). Dalam
pengertian yang lain lagi, istilah teks juga digunakan dalam kajian budaya
untuk mengacu pada semua artefak budaya (Fairclough 1995). Oleh karena itu,
dalam kajian budaya apa yang disebut dengan teks tidak harus berupa bahasa,
tetapi juga meliputi lukisan, bangunan, dan musik.
Apa yang kita saksikan adalah bahwa
istilah teks didefinisikan sesuai dengan kepentingan objek kajian dalam
disiplin ilmunya masing-masing. Meskipun berbeda-beda, semua yang didefinisikan
dalam istilah teks tersebut terikat dalam analogi ‘teks sebagai sebuah hasil
karya dalam bahasa tulis yang isinya dapat dibaca dan dianalisis’. Dengan demikian,
apa yang dimaksud dengan istilah teks dalam berbagai definisi tersebut dapat
disarikan sebagai ‘sesuatu yang dapat dibaca dan dianalisis’ untuk sampai pada
tujuan yang dikehendaki oleh masing-masing disiplin ilmu. Meskipun perngertian
teks di luar disiplin linguistik tidak sama persis dengan pengertian teks dalam linguistik, ikatan
‘sesuatu yang dapat dibaca dan dianalisis’ dalam definisi-definisi teks
memungkinkan kita untuk menginteraksikannya ke dalam kajian analisis teks dan
analisis wacana dalam linguistik.
Sementara itu, objek kajian linguistik
adalah bahasa, dalam hal ini bahasa verbal. Istilah teks dalam linguistik,
tanpa menimbulkan perdebatan, dapat dipastikan mengacu pada bahasa.
Kenyataannya para linguis memiliki sikap yang berbeda terhadap bahasa dalam
penggunaan tersebut. Perbedaan sikap tersebut menyebabkan istilah teks
digunakan secara berbeda-beda. Tidak mengherankan, oleh karena itu,
jika permasalahan istilah teks tetap menjadi salah satu pembicaraan dalam
kajian analisis wacana. Akan tetapi, sejauh ini belum ada sebuah buku analisis
wacana yang membahas istilah teks secara mendetail dalam sebuah bab pembahasan
tersendiri. Sering kali pembahasan istilah teks hanya disinggung di sana sini ketika istilah
wacana dibahas. Mungkin dikarenakan hal tersebut, pengertian istilah teks dalam
kaitannya dengan istilah wacana menjadi kabur. Kekaburan tersebut pada akhirnya
mengakibatkan kekaburan objek kajian analisis teks dan analisis wacana. Jika
objek kajian analisis teks dan analisis wacana kabur, tentu saja konsekuensi
logisnya adalah kekaburan metode dan tujuan analisis teks dan analisis wacana.
Secara khusus bab ini diorientasikan
untuk membahas pengertian istilah teks. Pembahasan dimulai dari penggunaan kata
teks dalam kehidupan sehari-hari karena pada kenyataannya kata tersebut biasa
kita temukan dan kemudian dilanjutkan dengan pembahasan teks sebagai sebuah
terminologi. Tujuan utama yang akan dicapai dalam bab ini adalah untuk mengkaji
ulang berbagai pengertian istilah teks yang sejauh ini sudah ada.
2. Teks dalam Penggunaan Sehari-hari
Sebelum memasuki pembahasan istilah teks
sebagai sebuah terminologi, mari kita mulai membahas istilah teks dari
penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Tujuannya adalah untuk memicu
kesadaran kita, terutama bagi pemula dalam analisis wacana, akan
permasalahan-permasalahan yang mungkin ada dalam penggunaan kata teks dalam
kehidupan sehari-hari, di samping untuk melatih kepekaan kita terhadap analisis
bahasa dalam penggunaan (language in use). Hal ini penting karena sering
sekali pengertian teks sebagai sebuah terminologi dipandang taken for
granted, sesuatu yang seolah-olah sudah dipahami dengan jelas dan tidak
menimbulkan persoalan.
Apa yang dapat kita pahami sejauh ini
adalah bahwa kata teks mengacu pada penggunaan bahasa dalam bentuk tulis.
Namun, sebagaimana disebutkan di atas, pertanyaannya adalah apakah kata teks
dapat digunakan untuk mengacu pada semua penggunaan bahasa dalam bentuk tulis.
Secara wajar kita dapat menggunakan kata teks dengan rangkaian kata-kata lain
seperti seperti teks pidato, teks ujian, dan teks Pembukaan Undang Undang
Dasar. Akan tetapi, kita ternyata tidak dapat menggunakan kata teks secara
wajar dalam rangkaian seperti teks larangan untuk mengacu pada ungkapan
‘dilarang membuang sampah di sini’ atau teks surat untuk mengacu pada ungkapan
‘mana teks suratmu’.
Lebih jauh, kita dapat melihat contoh
(III.1) yang menunjukkan bahwa kata teks tidak dapat digunakan untuk mengacu
pada semua bentuk bahasa tulis.
(III1) a. Saya
tidak melihat di pintu ada teks ‘buka jam 08.00’.
b. Dia
memasang teks ‘ngamen gratis’ di depan tokonya.
c. Mereka
selalu memiliki teks ‘teknik sipil’ di jaketnya.
Biasanya bukan kata teks yang digunakan
dalam contoh (III.1) tersebut, tetapi kata tulisan atau tertulis, seperti
tertulis/tulisan ‘buka jam 08.00’, tulisan ‘ngamen gratis’, dan tulisan ‘teknik
sipil’. Dengan demikian, tampak bahwa apa yang dimaksud dengan kata teks secara
khusus mengacu pada penggunaan bahasa tulis yang terdiri atas kalimat-kalimat.
Akan tetapi, kita juga mendapati penggunaan bahasa tulis yang terdiri atas
kalimat-kalimat yang terdengar asing jika disandingkan dengan kata teks seperti
pada contoh (III.2).
(III.2) a. Pak guru
menugasi kita untuk menulis sebuah teks pengalaman kita semasa kecil.
b. Wah,
saya kehilangan teks cerita pendek yang baru saya selesaikan.
c. Maaf,
saya benar-benar tidak mengerti isi teks suratmu kemarin.
Coba kita bandingkan contoh (III.2) dengan contoh (III.3) yang
terdengar lebih wajar.
(III.3) a. Pak guru menugasi kita untuk menulis sebuah karangan
pengalaman kita semasa kecil.
b. Wah,
saya kehilangan naskah cerita pendek yang baru saya selesaikan.
c. Maaf,
saya benar-benar tidak mengerti isi tulisan suratmu kemarin.
Kita dapat menyimpulkan bahwa arti kata
teks dalam penggunaan sehari-hari memiliki arti yang terbatas. Secara semantis,
kita perlu meneliti lebih jauh arti kata teks tersebut dalam penggunaan
sehari-hari. Bagaimana perilaku kata teks digunakan bersama kata lain? Apa
perbedaan kata teks dengan kata naskah, tulisan, atau kata-kata lainnya yang
bersinonim dengannya?
Namun, permasalahan tersebut tidak dalam
ruang lingkup buku ini. Yang ingin ditekankan di sini adalah bahwa meskipun
istilah teks adalah sama dan mungkin saja berasal dari kata teks dalam
penggunaan sehari-hari, kata teks sebagai sebuah terminologi harus dipahami
secara terpisah dari penggunaannya sehari-hari. Hal ini penting disadari sejak
awal untuk menghindarkan kita dari kekacauan dalam menggunakan istilah. Dengan
demikian, jelas bahwa kata teks yang akan digunakan dalam buku ini tidak
memiliki kaitan sama sekali dengan kata teks dalam penggunaan sehari-hari.
3. Tumpang
Tindih Istilah Teks dan Wacana
Banyak linguis yang menyamakan pengertian teks
dengan pengertian wacana. Sebenarnya hal tersebut tidak menjadi sebuah
permasalahan. Seorang linguis boleh saja memberikan pengertian istilah
teks sama dengan pengertian istilah
wacana. Sebaliknya, seorang linguis juga boleh memberikan pengertian istilah
teks secara berbeda dari pengertian istilah wacana. Perbedaan tersebut
merupakan peristiwa yang lazim dalam dunia ilmiah. Yang terpenting adalah (i)
bagaimana istilah-istilah tersebut digunakan secara konsisten dan (ii)
bagaimana istilah-istilah tersebut didefinisikan dengan jelas, sehingga objek
kajian, metode, dan tujuan analisis teks dan analisis wacana juga menjadi
jelas.
Salah satu ketidakajegan penggunaan
istilah teks dapat dilihat dalam Rani et.al. (2004:4), yang berdasarkan
pemahaman[1]
mereka terhadap pendapat Brown dan Yule (1983), mereka menyatakan bahwa dalam
komunikasi tulis wujud wacana adalah teks yang berarti hasil dan dalam
komunikasi lisan wacana adalah proses komunikasi lisan. Di sini tampak jelas
bahwa perbedaan antara istilah teks dengan istilah wacana hanya berada pada
tataran penggunaannya. Istilah wacana digunakan untuk meliputi baik fakta
lingual tulis maupun lisan, sedangkan istilah teks secara khusus digunakan
untuk mengacu pada wacana yang berujud tulis. Akan tetapi, Rani et.al.
(2004:10) juga menyatakan bahwa “data analisis wacana selalu berupa teks, baik
teks lisan maupun teks tulis, yang digunakan untuk mengacu pada bentuk
transkripsi rangkaian kalimat atau ujaran”. Penjelasan tersebut menunjukkan bagaimana
istilah teks dan istilah wacana digunakan secara tumpang tindih.
Sebagian besar buku tentang analisis
wacana pada umumnya tidak memberikan pengertian istilah teks secara khusus,
tetapi langsung pada penyebutan istilah teks ketika membahas pengertian istilah
wacana. Stubbs (1983:9-10) pada awalnya menyatakan bahwa istilah teks dan
wacana perlu mendapat perhatian karena penggunaannya sering membingungkan dan
ambigu. Namun, pada kenyataannya Stubbs tidak memberikan penjelasan yang memadai
tentang istilah teks dan wacana, dan mengambil sikap untuk tidak memberikan
perbedaan yang penting di antara keduanya.
Stubbs memberikan beberapa contoh
perbedaan penggunaan istilah teks dan wacana, yaitu (i) teks untuk bahasa tulis
sedangkan wacana untuk bahasa lisan, (ii) teks untuk bahasa non-interaktif atau
monolog sedangkan wacana untuk bahasa interaktif atau dialog, dan (iii) teks
mengimplikasikan realisasi bahasa yang pendek sepert ‘exit dan ‘no
smoking’ sedangkan wacana mengimplikasikan realisasi bahasa yang
panjang. Akan tetapi, pada akhirnya Stubbs menyatakan bahwa dari
istilah-istilah tersebut dia memiliki preferensi untuk menggunakan istilah
wacana karena alasan lebih enak dan mudah (convenience), bukan karena
sebuah alasan teoretis. Oleh karena itu, analisis wacana menurut Stubbs
(1983:1) digunakan untuk mengacu pada kajian struktur bahasa di atas kalimat
atau di atas klausa, dan, dengan demikian, mengacu pada kajian segala
satuan-satuan bahasa yang lebih luas seperti percakapan dan teks-teks tulis.
Stubbs menyatakan tidak akan memberikan
dasar perbedaan teoretis antara istilah teks dengan wacana karena perbedaan
keduanya hanya perbedaan tipis pada permasalahan penekanannya. Dari
penjelasan-penjelasan tersebut, tampak bahwa Stubbs menggunakan (i) istilah
teks untuk menekankan bentuk bahasa tulis, (ii) istilah wacana untuk bahasa
lisan, dan (iii) istilah analisis wacana untuk analisis keduanya, teks dan
wacana. Preferensi serupa diambil oleh Richards, et. al. (1987:83-84) yang
menyatakan bahwa analisis wacana merupakan kajian terhadap wacana lisan dan
wacana tulisan, yang disebut oleh Stubbs dengan teks; juga oleh Potter
(1997:146) yang menyatakan bahwa analisis wacana merupakan kajian “texts and
talk in social practices”. Preferensi berbeda diberikan oleh Crystal (1987:116) yang
menggunakan istilah analisis teks untuk bahasa tulis dan analisis wacana untuk
bahasa lisan.
Pada hakikatnya, para linguis di atas
tidak memberikan perbedaan yang signifikan antara istilah teks dan wacana. Itulah
sebabnya banyak linguis yang menyamakan istilah teks dengan istilah wacana,
meskipun pada akhirnya istilah wacana dan analisis wacana lebih cenderung untuk
dipilih dari pada istilah teks dan analisis teks. Sebagaimana dikatakan
oleh Stubbs, perbedaan antara istilah
teks dengan istilah wacana hanya perbedaan penekanan teks untuk bahasa tulis
dan wacana untuk bahasa lisan. Tidak terdapat sama sekali kerangka teoretis
yang digunakan untuk membedakan keduanya. Preferensi penggunaan (i) istilah
wacana untuk mengacu pada bahasa tulis dan lisan dan (ii) analisis wacana untuk
mengacu pada analisis bahasa tulis dan lisan banyak dikuti oleh linguis di Indonesia .
Beberapa di antaranya adalah Tarigan (1987:27), Samsuri (1987:1), Kartomiharjo
(1993:21), dan Sumarlam (2003:15).
Karena penggunaan istilah wacana dan
analisis wacana yang disebutkan di atas hanyalah permasalahan preferensi dan
bukan permasalahan teoretis, kita dapat menggunakan yang sebaliknya dengan
alasan preferensi, yaitu menggunakan istilah teks dan analisis teks untuk
mengacu pada semua yang disebutkan di atas. Dengan demikian, istilah teks
mengacu pada penggunaan bahasa tulis dan bahasa lisan, sementara istilah
analisis teks mengacu pada analisis penggunaan bahasa tulis dan bahasa lisan.
Tidak terdapat satu pun alasan teoretis yang dapat digunakan untuk menyangkal,
melarang, dan apalagi menyalahkan preferensi kedua tersebut, yaitu preferensi
penggunaan istilah teks dan analisis teks. Akan tetapi, apa kegunaannya jika
preferensi tersebut hanya ingin sekedar berbeda tanpa adanya implikasi teoretis
dan metodologis yang diembannya.
4. Beberapa Pengertian Teks: Tinjauan Kritis
Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan
bahwa selama ini istilah teks dan istilah wacana tidak dibedakan secara
signifikan dan tidak memiliki implikasi metodologis. Kedua istilah tersebut
sering dipergunakan secara bergantian dalam buku-buku analisis wacana. Dalam
bagian ini apa yang disebut dengan istilah teks dan istilah wacana juga tidak
dibedakan. Pembahasan dalam bagian ini semata-mata diarahkan untuk mengkritisi
batasan-batasan pengertian teks atau wacana yang telah diajukan oleh para
linguis yang menyamakan istilah teks dan wacana.
Halliday dan Hasan (1976) menggunakan
istilah teks untuk mengacu pada “any passage, spoken or written, of whatever
lenght, that does form a unified whole”. Istilah teks tersebut selanjutnya
dijadikan dasar oleh Halliday dan Hasan untuk menilai apakah sebuah produk
lingual disebut sebagai teks, yang berarti sebuah satu kesatuan yang padu, atau
non-teks (non-text), yang berarti sekumpulan kalimat acak yang saling
tidak berkaitan. Teks dibedakan dari non-teks berdasarkan hubungan-hubungan
yang ada di dalam kalimat dan antarkalimat. Hubungan-hubungan tersebut
menciptakan sebuah tekstur. Teks dicirikan dengan tekstur yang kohesif (padu)
dan kekohesifan tekstur tersebut dibentuk oleh penggunaan piranti-piranti
kohesi.
Permasalahannya adalah, sebagaimana
dinyatakan oleh Edmondson (1981), atas dasar apa kita membedakan sebuah teks
dari non-teks. Sulit rasanya bagi penutur bahasa Indonesia untuk mengatakan
bahwa tiga ujaran pada (III.4) merupakan sebuah teks apabila tekstur yang
kohesif dijadikan dasarnya. Penggunaan piranti kohesi pelesapan pun tetap tidak
berguna, karena ketiga kalimat tersebut tidak memiliki ikatan sama sekali satu
dengan lainnya.
(III.4) Kita harus bertemu besok di kantor.
Rendra sedang pentas di Amerika
hingga bulan depan.
Pak Jaya saat ini dirawat di rumah
sakit.
Namun, hubungan tiga kalimat tersebut
dapat dipahami dengan jelas oleh orang yang berada dalam konteks lahirnya
ketiga kalimat tersebut. Bahkan, kita pun juga akan segera mengenali hubungan
ketiganya jika konteks ketiga kalimat tersebut dimunculkan seperti tampak pada
(III.5).
(III.5) Pak Jaya berencana mengadakan sebuah talk
show mengenai sastra dalam bulan ini. Dia mengajak Roni dan Toni untuk
membantu penyelenggaraannya. Pada tengah bulan, ternyata Pak Jaya harus dirawat
rumah sakit paling tidak hingga dua minggu ke depan. Roni kebetulan memperoleh
informasi bahwa W. S. Rendra ternyata sedang melakukan tur pentas di Amerika
hingga bulan depan. Kemudian, Roni menulis sebuah pesan (III.4) di secarik
kertas karena tidak bertemu dengan Toni ketika bertandang ke rumahnya untuk
membicarakan permasa-lahan tersebut.
Berdasarkan
informasi konteks (III.5), tiga kalimat yang tidak kohesif tersebut merupakan
sebuah kesatuan yang padu dalam pengertian dapat dipahami (interpretable)
berdasarkan konteksnya. Tampaknya Halliday dan Hasan memisahkan daya
keterpahaman sebuah teks yang dipisahkan dari konteks. Jika itu yang dipakai,
kita akan mendapati banyak penggunaan bahasa yang dapat dikatakan bukan sebagai
teks karena tidak kohesif.
Penggunaan kata passage[2]
dalan definisi teks menurut Halliday dan Hasan (1976) mengimplikasikan
bahwa yang dimaksud teks terdiri atas lebih dari dua kalimat. Dengan demikian,
apa yang dimaksud teks oleh mereka berada dalam batasan (i) bersifat kohesif
dan (ii) lebih dari dua kalimat. Apabila sebuah fakta lingual tidak memenuhi
dua batasan tersebut, fakta lingual tersebut bukan teks. Itulah sebabnya fakta
lingual (III.4) tidak dapat dikatakan sebagai sebuah teks karena tidak kohesif.
Sementara itu, fakta lingual ‘buka’ atau ‘tutup’ yang terpampang di pintu
sebuah toko dan fakta lingual ‘exit’ atau ‘transit’ yang terpampang di sebuah
ruangan bandara udara juga tidak dapat dikatakan sebuah teks karena hanya
terdiri atas satu kata, yang juga berarti tidak memiliki kohesi sama sekali.
Berdasarkan pembahasan secara menyeluruh
dalam bukunya, definisi teks sebagai “a structured sequence of linguistic
expressions forming a unitary whole” (Edmondson 1981:4) juga dapat
diartikan mengacu pada fakta lingual yang lebih dari dua kalimat. Hal tersebut
dikuatkan oleh pemahaman Sumarlam (2006:22), yang menyatakan bahwa
teks dapat dipahami sebagai suatu
rangkaian pernyataan bahasa secara terstruktur[3].
Lirik lagu “Yen ing Tawang Ono Lintang”[4] merupakan sebuah teks
karena di dalam lagu tersebut terdapat rangkaian pernyataan bahasa, secara
konkret berupa untaian kata-kata dan baris-baris kalimat yang disusun oleh
pencipta lagu tersebut.
Tampak jelas
bahwa Sumarlam sependapat dengan Edmondson dalam mendefinisikan teks, meskipun
pada tempat lain Sumarlam tidak menggunakan istilah teks tetapi istilah wacana.
Dengan demikian, istilah teks dan wacana dapat digunakan secara bertukar oleh
Sumarlam tanpa implikasi apapun.
Persetujuan Sumarlam terhadap definisi
teks yang diajukan oleh Edmondson tersebut dapat berakar pada definisi wacana
menurut Sumarlam (2003:15) yang menyatakan bahwa wacana adalah
satuan bahasa
terlengkap yang dinyatakan secara lisan seperti pidato, ceramah, khotbah, dan
dialog, atau secara tertulis seperti cerpen, novel, buku, dan dokumen tertulis,
yang dilihat dari struktur lahirnya (dari segi bentuk) bersifat kohesif, saling
terkait dan dari struktur batinnya (dari segi makna) bersifat koheren, terpadu.
Definisi
wacana tersebut (Sumarlam 2003:15, 2006:22) mengimplikasikan bahwa wacana (i)
dapat berupa fakta lingual tulis atau lisan, (ii) lebih dari satu kalimat,
(iii) bersifat kohesif, dan (iv) bersifat koheren. Konsekuensi logis dari
definisi tersebut adalah penciptaan batasan apa yang disebut wacana. Jika
sebuah fakta lingual tidak memenuhi salah satu dari empat batasan tersebut, fakta
lingual itu tidak dapat disebut dengan wacana.
Dengan empat batasan tersebut, terdapat
fakta-fakta lingual yang tidak dapat dikatakan sebagai sebuah wacana. Pertama
adalah fakta lingual yang mungkin terdiri atas bahasa tulis dan bahasa lisan
secara bersamaan. Definisi wacana yang diajukan oleh Sumarlam tidak menyebutkan
kemungkinan fakta lingual yang di dalamnya terdiri atas fakta lingual tulis dan
lisan. Contoh fakta lingual tersebut adalah teks berita dalam surat kabar seperti tampak dalam cuplikan teks
berita pada (III.6).
(III. 6) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kembali
mengingatkan kepala daerah untuk lebih sering turun ke lapangan untuk melihat
langsung kondisi warga di wilayahnya masing-masing. Itu dilakukan agar program
pembangunan yang direncanakan betul-betul sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
“Kepada bupati dan gubernur, sering-seringlah turun ke lapangan agar dapat
mengetahui langsung keadaan yang sesungguhnya,” kata Presiden SBY usai temu
wicara dengan tokoh masyarakat Desa Karang Tengah, Sentul, Kabupaaten Bogor,
Minggu (20/5).
(Sumber: Suara Merdeka, 21 Mei
2007).
Tidak dapat disangkal bahwa cuplikan
teks berita (III.6) tersebut secara fisik adalah fakta lingual tulis karena
terdapat pada sebuah seurat kabar. Akan tetapi, apabila kita dikaji lebih
mendalam, cuplikan tersebut mengandung sebuah kutipan langsung yang berarti
transkrip ortografis sebuah fakta lingual lisan. Meskipun berupa transkrip,
fakta lingual tersebut tetap merupakan fakta lingual lisan. Oleh karena itu,
cuplikan teks berita tersebut adalah fakta lingual yang di dalamnya terdapat
fakta lingual tulis dan fakta lingual lisan. Seharusnya definisi wacana
tersebut menggunakan kata ‘dan atau’ utuk merangkai “....... secara lisan .....
dan atau secara tulis .......”. Mungkin saja sebenarnya pemahaman ini yang
dimaksudkan, tetapi sebagai sebuah definisi hal terebut tidak dapat diterima.
Fakta lingual kedua yang tidak dapat
dikatakan sebagai sebuah wacana adalah fakta lingual yang hanya terdiri atas
sebuah kata seperti ‘buka’, ‘tutup’, ‘exit’,
‘entrance’, ‘ruang tunggu’, ‘kedatangan’, dan ‘pemberangkatan’. Fakta
lingual ketiga yang tidak dapat dikatakan sebagai sebuah wacana adalah fakta
lingual yang struktur lahirnya tidak kohesif dan atau fakta-fakta lingual yang
struktur batinnya tidak koheren. Contohnya adalah fakta lingual (III.4), yang
sama sekali tidak bersifat kohesif.
Implikasinya adalah fakta lingual
(III.4) dan (III.6) tidak dapat disebut sebagai sebuah wacana menurut definisi
tersebut. Karena tidak memenuhi kriteria definisi sebuah wacana, fakta lingual
(III.4) dan (III.6) tidak menjadi objek analisis wacana. Kalau fakta-fakta
lingual tersebut tidak wacana, fakta-fakta lingual apakah semua itu. Karena
bukan wacana, fakta-fakta tersebut akhirnya tentu saja tidak dapat dianalisis
oleh analisis wacana. Pun jika tetap dianalisis, maka kegiatan tersebut dapat
dikatakan bukan kegiatan analisis wacana. Lantas, kegiatan analisis apakah yang
menganalisis fakta-fakta lingual tersebut.
Apabila kita melihat definisi-definisi
wacana yang diajukan oleh kebanyakan linguis, definisi-definisi tersebut hampir
memiliki permasalahan yang sama. Berikut akan saya sajikan tiga contoh definisi wacana yang memikili batasan kurang
lebih sama dengan definisi Edmondson (1981:4) dan Sumarlam (2003:15, 2006:22).
Selanjutnya, definisi-definisi tersebut akan diulas secara memadai untuk
melihat sejauh mana definisi-definisi tersebut dapat dioperasionalkan.
Definisi pertama yang akan disajikan
adalah definisi wacana yang diajukan oleh Tarigan (1987:27), yang menyatakan
bahwa
wacana adalah satuan
bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa
dengan koherensi dan kohesi tinggi yang berkesinambungan yang mempunyai awal
dan akhir yang nyata disampaikan secara lisan atau tertulis.
Sebagai
seorang penutur bahasa Indonesia ,
kita sepintas dapat memahami apa yang dimaksud dengan wacana menurut Tarigan
tersebut tanpa kesulitan. Akan tetapi, jika kita menelisik definisi wacana
tersebut secara seksama, apa yang dimaksud dengan wacana oleh Tarigan ternyata
cukup membingungkan dan tumpang tindih.
Permasalahan
utama penyebab tumpang tindih definisi wacana menurut Tarigan adalah penggunaan
kata ‘atau’ yang tidak tepat pada rangkaian “ ...di atas kalimat atau
klausa...”. Pertama yang dimaksud dengan “di atas kalimat atau klausa” dapat
berarti penyamaan istilah kalimat dengan klausa. Jika itu yang dimaksudkan,
tentunya pernyataan “dia sedang memasak sambil melihat TV” adalah sebuah klausa
karena pernyataan tersebut adalah sebuah kalimat. Namun, tidak seorang linguis
pun yang menyatakan bahwa pernyataan tersebut sebuah klausa, tetapi sebuah
kalimat dan tepatnya kalimat majemuk. Sebuah klausa hanya memiliki satu fungsi sintaktis predikat di dalamnya, sedangkan sebuah kalimat dapat memiliki
lebih dari satu fungsi sintaktis predikat di dalamnya. Jika kata ‘atau’ berarti
penyamaan, itu berarti definisi tersebut berada dalam sebuah kesalahan medasar.
Kedua, yang
dimaksud dengan “di atas kalimat atau klausa” dapat berarti dua hal yang
berbeda, yaitu (i) wacana berada di atas kalimat sebagai sebuah kemungkinan dan
(ii) wacana berada di atas klausa
sebagai sebuah kemungkinan lain. Jika itu yang dimaksudkan, batasan wacana yang
diajukan menjadi tumpang tindih dan kabur. Bagaimana mungkin wacana dapat
berada dalam dua tempat yang berbeda? Jika wacana adalah satuan bahasa di atas
kalimat, apa yang dimaksud dengan kalimat oleh Tarigan, (i) kalimat tunggal
yang berarti hanya memiliki satu fungsi sintaktis predikat atau (ii) kalimat
majemuk yang dapat memiliki lebih dari satu fungsi sintaktis predikat di
dalamnya. Jika yang dimaksudkan dengan kalimat adalah kalimat tunggal,
permasalahan yang dihadapi adalah penyamaan ‘kalimat atau klausa’ sebagaimana
dipaparkan sebelumnya. Jika yang dimaksudkan dengan kalimat adalah kalimat
majemuk, permasalahannya adalah wacana, di satu sisi, berbentuk dua atau lebih
kalimat dan, di sisi lain, wacana dapat berbentuk satu kalimat majemuk
mengingat kalimat majemuk di atas klausa.
Di samping
permasalahan tersebut, definisi wacana menurut Tarigan menghadapi permasalahan
dengan apa yang dimaksud dengan “koherensi dan kohesi yang tinggi”. Fakta
lingual (III.4) tidak memiliki kohesi sama sekali, dan karenanya tidak dapat
disebut sebagai wacana. Seberapa tinggi sebuah fakta lingual harus memiliki
koherensi dan kohesi untuk dapat dikatakan sebagai sebuah wacana? Tentu saja
pada kenyataannya sulit untuk membuat parameternya. Yang terpenting adalah
bahwa apapun ukuran “koherensi dan kohesi yang tinggi” akan mengakibatkan pada
pengabaian fakta-fakta lingual seperti (III.4).
Permasalahan
lain yang dihadapi adalah sama dengan definisi wacana menurut Sumarlam.
Permasalahan tersebut adalah (i) menempatkan wacana dalam pengertian tataran
dalam satuan bahasa di atas kalimat dan (ii)
penyampaian secara lisan atau tulis. Yang pertama mengabaikan
fakta-fakta lingual yang hanya terdiri atas satu kata dan yang kedua
mengabaikan fakta-fakta lingual yang di dalamnya terdapat fakta lingual lisan
dan tulis secara bersama seperti (III.6).
Definisi kedua
yang akan disajikan adalah definisi wacana yang diajukan oleh Stubbs (1983:1), yang menyatakan bahwa
I will use it (text
analysis) in this book to refer mainly to the linguistic analysis of naturally
occuring connected spoken or written disccourse (tect). Raoughly speaking, it
refers to attempts to study the organization of language above the sentence or
above the clausse, and therefore to study larger linguistic units, such as
conversational exchange or written text.
Permasalahan
yang dihadapai oleh definisi tersebut adalah sama dengan yang dihadapi oleh
definisi menurut Sumarlam dan Tarigan. Kesamaan definisi tersebut dengan dua
definisi sebelumnya terletak pada pemposisian wacana sebagai tataran yang lebih
tinggi dari kalimat yang berarti juga mengabaikan fakta-fakta lingual yang
hanya terdiri atas satu kata. Di samping itu, definisi tersebut juga menghadapi
permasalahan yang sama dengan definsi wacana menurut Tarigan ketika membuat
pernyataan “above the sentence or above the clause”. Tidak jelas apa
yang dimaksud dengan penggunaan istilah kalimat dan klausa dalam definisi
wacana menurut Stubbs tersebut.
Dapat kita
simpulkan bahwa definisi-definisi wacana di atas tidak dapat melingkupi semua
fakta-fakta penggunaan bahasa yang dapat kita temukan dalam kehidupan
sehari-hari. Kelemahan utama definisi-definisi wacana tersebut terletak batasan
formalnya terhadap wacana. Batasan formal yang pertama adalah dari segi
realisasi lingualnya yang harus lebih dari satu kalimat dan pada umumnya
digambarkan seperti sebuah karangan untuk wacana tulis dan pidato tanpa teks
untuk wacana tulis. Batasan formal yang kedua adalah dari segi kekohesifannya,
sehingga sebuah teks atau wacana dapat dikatakan teks atau wacana apabila
bersifat kohesif meskipun parameter kekohesifan tersebut juga belum jelas.
5. Beberapa Kritik terhadap Analisis Wacana
Pengertian
istilah teks atau wacana yang telah dibahas di atas memiliki implikasi langsung
terhadap pengertian analisis wacana selama ini. Apabila pengertian istilah teks
atau wacana di atas menunjukkan beberapa kelemahan, tentunya kelemahan tersebut
juga akan berimplikasi pada pengertian analisis wacana. Sebagaimana istilah
teks atau wacana yang tidak terdefinisikan dengan jelas, pengertian analisis wacana
sebagai sebuah bidang kajian tersendiri selama ini juga tidak banyak dibahas
(Schiffrin, 1994). Berikut ini akan dibahas permasalahan-permasalahan yang
terdapat dalam pengertian analisis wacana yang ada selama ini sebagai implikasi
dari permasalahan-permasalahan dalam pengertian teks dan wacana.
3.5.1 Objek Kajian
Jika istilah
teks dan istilah wacana sering dipertukarkan karena memiliki pengertian yang
sama, tidak halnya demikian dengan istilah analisis teks dan analisis wacana.
Istilah analisis wacana hampir selalu digunakan untuk mengacu pada kegiatan
menganalisis teks atau wacana. Dengan demikian, jelas bahwa analisis wacana
dapat dipahami sebagai sebuah kegiatan analisis terhadap wacana. Tentu saja,
sebagaimana disebutkan di atas, analisis wacana hanya merujuk pada analisis
terhadap fakta-fakta yang memenuhi kriteria definisi wacana. Kegiatan
menganalisis fakta-fakta lingual seperti ‘tutup’ dan ‘buka’ tidak dapat
dikatakan sebagai analisis wacana karena fakta-fakta lingual tersebut tidak
termasuk dalam definisi wacana di atas.
Dengan kata
lain, dapat kita katakan bahwa objek kajian analisis wacana adalah wacana atau
teks karena kedua istilah tersebtu disamakan. Jika sebuah faka lingual tidak
memenuhi definisi wacana atau teks yang telah disebutkan di atas, fakta lingual
tersebut bukan wacana atau teks. Itu berarti bahwa fakta lingual tersebut bukan
objek kajian analisis wacana. Dengan kata lain, kita dapat menyimpulkan bahwa
tidak semua fakta lingual yang secara nyata digunakan dalam kehidupan sehari-hari
adalah objek kajian wacana seperti dicontohkan sebelumnya.
3.5.2
Metode Kajian
Seiring dengan
berkembangannya pemikiran bahwa bahasa juga bersifat sosial sebagaimana
dipelopori oleh Firth (1959) dengan konsepnya ‘sociological linguistics’,
akhirnya diakui bahwa wacana tidak dapat dipahami hanya secara formal. Untuk
itulah mereka memasukkan unsur konteks dalam wacana yang sesungguhnya tidak
mereka cakup dalam definisi wacana, kecuali hanya kata koherensi. Berkaitan
dengan hal ini, mereka menggunakan istilah analisis wacana kontekstual, sebuah
analisis fungsional yang dilakukan pada konstituen-konstituen pembentuk wacana
dalamkaitannya dengan konteksnya. Analisis wacana kontekstual pada
hakikatnya merupakan analisis yang sudah dilakukan dalam bidang kajian lain,
terutama Pragmatik dan Teori Tindak Tutur[5].
Tidak mengherankan, oleh karena itu, analisis wacana kontekstual dilakukan
dengan cara seperti analisis bahasa dalam bidang Pragmatik dan Teori Tindak
Tutur. Bahkan, Lubis (1993) menyebut bukunya dengan judul Analisis Wacana
Pragmatik, karena di satu sisi analisisnya adalah analisis kohesi, yaitu
analisis wacana struktural, di sisi lain analisisnya adalah analisis
kontekstual yang sebenarnya adalah analisis pragmatik.
Berdasarkan
penjelasan-penjelasan tersebut tampak jelas bagaimana permasalahan-permasalahan
yang ditimbulkan oleh kelemahan pandangan wacana secara struktural. Secara
struktural, objek kajian analisis wacana adalah satuan bahasa di atas kalimat,
metode kajiannya adalah analisis relasi konstituen-konstituen (kalimat-kalimat)
pembentuk wacana, dan tujuan kajiannya adalah memerikan struktur wacana yang
kemudian diinterpretasikan sebagai makna wacana. Pada hakikatnya, analisis
wacana struktural memiliki objek, metode, dan tujuan kajian yang jelas.
Permasalahannya adalah (i) objek kajiannya tidak mencakup semua fakta lingual
yang ada, (ii) konteks tidak dilibatkan, dan (iii) karenanya analisisnya
bersifat formal dan tidak kontekstual.
Berdasarkan
kelemahan-kelemahan tersebut, analisis wacana struktural generasi baru,
terutama di Indonesia, memasukkan konteks wacana sebagai bagian dalam melakukan
analisis wacana di samping analisis kohesinya. Dengan demikian, mereka memiliki
dua jenis analisis wacana, yaitu (i) analisis wacana tekstual yang difokuskan
pada analisis kohesi dan (ii) analisis wacana kontekstual[6]
yang difokuskan pada analisis koherensi. Akan tetapi, yang terjadi justru
sebaliknya, kelemahan tidak terselesaikan bahkan menambah masalah baru.
Pertama, wacana masih juga didefinisikan secara struktural, dan kedua analisis
kontekstualnya secara metodologis tumpang tindih dengan bidang kajian lain
seperti Pragmatik, Teori Tindak Tutur, dan Etnografi Komunikasi. Akhirnya, apa
yang disebut dengan analisis wacana, setidaknya dari sudut pandang analisis
wacana secara struktural, saat ini memiliki kekaburan ontologi (objek kajian),
epistemologi (metode kajian), dan aksiologinya (tujuan kajiannya). Hal ini
harus diselesaikan jika Analisis Wacana ingin dikatakan sebagai sebuah cabang
kajian dalam Linguistik yang mandiri dan berbeda dari cabang kajian lain
seperti Pragmatik, Analisis Percakapan, Teori Tindak Tutur, Sosiolinguistik
Interaksional, dan Etnografi Komunikasi.
3.6
Rangkuman
Istilah teks
dan wacana merupakan dua istilah yang sering digunakan ketika orang melakukan analisis
penggunaan bahasa. Namun, penggunaannya yang relatif luas tersebut ternyata
tidak membuat istilah teks dan wacana memiliki pengertian yang jelas. Karena
kedua istilah tersebut telah terdengar begitu akrab, keduanya seolah-olah telah
dipahami dengan jelas. Tidak mengherankan apabila kedua istilah tersebut tidak
pernah mendapat perhatian serius secara khusus dan didefinisikan dengan jelas.
Bab ini telah
memperlihatkan bahwa istilah teks dan wacana selama ini digunakan secara tumpang
tindih. Pada satu saat keduanya dibedakan, tetapi pada saat yang lain keduanya
disamakan. Di samping penggunaan istilah teks dan istilah wacana yang tumpang
tindih, istilah wacana didefinisikan sebagai sebuah produk lingual secara
struktural per se. Definisi teks secara struktural ini tidak dapat
mencakup semua fakta lingual yang terdapa dalam kehidupan sehari-hari.
Di samping
itu, akhir dari bab ini juga telah membahas hubungan antara definisi teks dan
wacana dengan objek, metode, dan tujuan analisis wacana. Ketidakjelasan
definisi teks dan wacana ini pada akhirnya berimplikasi langsung terhadap kekaburan
objek, metode, dan tujuan kajiannya. Terdapat dua jenis kekaburan dalam hal
ini. Kekaburan pertama berkaitan dengan apa objek kajian analisis wacana,
bagaimana metode analisisnya, dan apa tujuann analisisnya. Kekaburan kedua
berkaitan dengan munculnya istilah analisis wacana tekstual dan analisis wacana
kontekstual.
[1]
Pemahaman Rani et. al. (2004:4) tentang apa yang dimaksud
oleh Brown dan Yule (1983) dengan text-as-product dan discourse-as-process
menurut saya tidak tepat seperti yang dirangkum dalam bukunya. Apa yang dimaksud dengan text-as-product
dan discourse-as-process oleh Brown dan Yule dapat padankan dengan
perbedaan antara teks dengan wacana menurut Edmondson (1981). Text-as-product
tidak dalam pengertian teks adalah produk tulis dan discourse-as-process
tidak dalam penegrtian wacana adalah proses lisan,
perbedaan keduanya terletak pada orientasinya dalam melihat sebuah rangkaian
ekspresi lingual seperti dapat dilihat dalam pembahasan 3.3 dan 3.4.
[2]
Menurut Longman Dictionary of Contemporary English (1978) berarti “short part
of speech or a piece of writing or music, condidered by itself “
[3]
Pernyataan tersebut sebenarnya pernyataan definsi teks yang diajukan oleh
Edmondson (1981:4)
[4]
Yen Ing Tawang Ono Lintang adalah sebuah lagu berbahasa Jawa.
[5] Pandangan saya ini dapat dijustifikasi dengan
elaborasi permasalahan-permasalahan seperti Praanggapan, Implikatur, dan
Inferensi yang merupakan piranti analisis dalam Pragmatik sebagaimana
dipraktikkan dalam Lubis (1993), Sumarlam (2003), dan Rani et. al. (2004)
[6]
Berdasarkan pembahasan dalam bagian 3.3, saya dapat
menyimpulkan bahwa analisis wacana tekstual pada hakikatnya adalah analisis
wacana itu sendiri secara struktural dan analisis wacana kontekstual adalah
analisis pragmatik dan tindak tutur.
No comments:
Post a Comment