Sunday, August 13, 2017

Teks dan Wacana: Tinjauan Kritis Peristilahan

1. Pengantar

Penggunaan istilah teks dalam linguistik muncul dan berkembang seiring dengan berkembangnya kajian wacana dalam linguistik. Sehingga, hampir dapat dipastikan bahwa saat ini istilah teks akan kita temukan ketika sedang membaca buku analisis wacana. Sementara istilah teks dalam linguistik sendiri digunakan secara berbeda-beda, istilah teks kemudian juga digunakan dalam kajian sosial, budaya, dan komunikasi. Kenyataan tersebut beriringan dengan semakin berkembangnya kajian analisis wacana di luar disiplin linguistik.
     Meskipun berakar dari pemikiran Saussure tentang semiologi yang membahas relasi antara tanda (signifiant) dengan petanda (signifie) dalam bahasa, istilah teks dalam ilmu komunikasi secara luas sering digunakan untuk mengacu baik pada simbol non verbal maupun pada simbol verbal atau bahasa. Cikal bakal pengertian istilah teks dalam ilmu komunikasi tersebut sebenarnya dapat dirujuk pada pemikiran Charles Saunders Peirce (1958) tentang semiotik. Pierce mengenalkan sepuluh kelas tanda (sign) yang salah satu dimensi klasifikasinya berupa simbol, ikon, dan indeks. Bahasa dalam klasifikasi tersebut merupakan bagian dari simbol yang dicirikan oleh Pierce sebagai relasi arbitrer antara tanda (sign) dengan penandaan (signification). Selain bahasa, simbol dapat berupa cara berpakain seperti berpakaian serba hitam ketika berkabung.
     Di dalam teori realitas sosial dan budaya, istilah teks didefinsikan secara lebih luas lagi, yaitu untuk mengacu pada segala peristiwa dan tindakan yang sedang ditafsirkan (Branham dan Pearce 1985). Peristiwa dan tindakan yang sedang ditafsirkan oleh orang tentu saja dapat berupa peristiwa bahasa atau yang lainnya.  Pandangan serupa juga dapat kita temukan dalam kajian psikologi sosial yang menyatakan teks sebagai segala bentuk reproduksi makna yang interpretasinya dapat dieksplanasi (Parker 1989). Dalam pengertian yang lain lagi, istilah teks juga digunakan dalam kajian budaya untuk mengacu pada semua artefak budaya (Fairclough 1995). Oleh karena itu, dalam kajian budaya apa yang disebut dengan teks tidak harus berupa bahasa, tetapi juga meliputi lukisan, bangunan, dan musik.
     Apa yang kita saksikan adalah bahwa istilah teks didefinisikan sesuai dengan kepentingan objek kajian dalam disiplin ilmunya masing-masing. Meskipun berbeda-beda, semua yang didefinisikan dalam istilah teks tersebut terikat dalam analogi ‘teks sebagai sebuah hasil karya dalam bahasa tulis yang isinya dapat dibaca dan dianalisis’. Dengan demikian, apa yang dimaksud dengan istilah teks dalam berbagai definisi tersebut dapat disarikan sebagai ‘sesuatu yang dapat dibaca dan dianalisis’ untuk sampai pada tujuan yang dikehendaki oleh masing-masing disiplin ilmu. Meskipun perngertian teks di luar disiplin linguistik tidak sama persis dengan  pengertian teks dalam linguistik, ikatan ‘sesuatu yang dapat dibaca dan dianalisis’ dalam definisi-definisi teks memungkinkan kita untuk menginteraksikannya ke dalam kajian analisis teks dan analisis wacana dalam linguistik.
     Sementara itu, objek kajian linguistik adalah bahasa, dalam hal ini bahasa verbal. Istilah teks dalam linguistik, tanpa menimbulkan perdebatan, dapat dipastikan mengacu pada bahasa. Kenyataannya para linguis memiliki sikap yang berbeda terhadap bahasa dalam penggunaan tersebut. Perbedaan sikap tersebut menyebabkan istilah teks digunakan secara berbeda-beda. Tidak mengherankan, oleh karena itu, jika permasalahan istilah teks tetap menjadi salah satu pembicaraan dalam kajian analisis wacana. Akan tetapi, sejauh ini belum ada sebuah buku analisis wacana yang membahas istilah teks secara mendetail dalam sebuah bab pembahasan tersendiri. Sering kali pembahasan istilah teks hanya disinggung di sana sini ketika istilah wacana dibahas. Mungkin dikarenakan hal tersebut, pengertian istilah teks dalam kaitannya dengan istilah wacana menjadi kabur. Kekaburan tersebut pada akhirnya mengakibatkan kekaburan objek kajian analisis teks dan analisis wacana. Jika objek kajian analisis teks dan analisis wacana kabur, tentu saja konsekuensi logisnya adalah kekaburan metode dan tujuan analisis teks dan analisis wacana.
     Secara khusus bab ini diorientasikan untuk membahas pengertian istilah teks. Pembahasan dimulai dari penggunaan kata teks dalam kehidupan sehari-hari karena pada kenyataannya kata tersebut biasa kita temukan dan kemudian dilanjutkan dengan pembahasan teks sebagai sebuah terminologi. Tujuan utama yang akan dicapai dalam bab ini adalah untuk mengkaji ulang berbagai pengertian istilah teks yang sejauh ini sudah ada.

2. Teks dalam Penggunaan Sehari-hari

Sebelum memasuki pembahasan istilah teks sebagai sebuah terminologi, mari kita mulai membahas istilah teks dari penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Tujuannya adalah untuk memicu kesadaran kita, terutama bagi pemula dalam analisis wacana, akan permasalahan-permasalahan yang mungkin ada dalam penggunaan kata teks dalam kehidupan sehari-hari, di samping untuk melatih kepekaan kita terhadap analisis bahasa dalam penggunaan (language in use). Hal ini penting karena sering sekali pengertian teks sebagai sebuah terminologi dipandang taken for granted, sesuatu yang seolah-olah sudah dipahami dengan jelas dan tidak menimbulkan persoalan.
     Apa yang dapat kita pahami sejauh ini adalah bahwa kata teks mengacu pada penggunaan bahasa dalam bentuk tulis. Namun, sebagaimana disebutkan di atas, pertanyaannya adalah apakah kata teks dapat digunakan untuk mengacu pada semua penggunaan bahasa dalam bentuk tulis. Secara wajar kita dapat menggunakan kata teks dengan rangkaian kata-kata lain seperti seperti teks pidato, teks ujian, dan teks Pembukaan Undang Undang Dasar. Akan tetapi, kita ternyata tidak dapat menggunakan kata teks secara wajar dalam rangkaian seperti teks larangan untuk mengacu pada ungkapan ‘dilarang membuang sampah di sini’ atau teks surat untuk mengacu pada ungkapan ‘mana teks suratmu’.
     Lebih jauh, kita dapat melihat contoh (III.1) yang menunjukkan bahwa kata teks tidak dapat digunakan untuk mengacu pada semua bentuk bahasa tulis.

(III1) a. Saya tidak melihat di pintu ada teks ‘buka jam 08.00’.
          b. Dia memasang teks ‘ngamen gratis’ di depan tokonya.
          c. Mereka selalu memiliki teks ‘teknik sipil’ di jaketnya.

Biasanya bukan kata teks yang digunakan dalam contoh (III.1) tersebut, tetapi kata tulisan atau tertulis, seperti tertulis/tulisan ‘buka jam 08.00’, tulisan ‘ngamen gratis’, dan tulisan ‘teknik sipil’. Dengan demikian, tampak bahwa apa yang dimaksud dengan kata teks secara khusus mengacu pada penggunaan bahasa tulis yang terdiri atas kalimat-kalimat. Akan tetapi, kita juga mendapati penggunaan bahasa tulis yang terdiri atas kalimat-kalimat yang terdengar asing jika disandingkan dengan kata teks seperti pada contoh (III.2).

(III.2) a. Pak guru menugasi kita untuk menulis sebuah teks pengalaman kita semasa kecil.
           b. Wah, saya kehilangan teks cerita pendek yang baru saya selesaikan.
           c. Maaf, saya benar-benar tidak mengerti isi teks suratmu kemarin.
     
Coba kita bandingkan contoh (III.2) dengan contoh (III.3) yang terdengar lebih wajar.

(III.3) a. Pak guru menugasi kita untuk menulis sebuah karangan pengalaman kita semasa kecil.
           b. Wah, saya kehilangan naskah cerita pendek yang baru saya selesaikan.
           c. Maaf, saya benar-benar tidak mengerti isi tulisan suratmu kemarin.
     
Kita dapat menyimpulkan bahwa arti kata teks dalam penggunaan sehari-hari memiliki arti yang terbatas. Secara semantis, kita perlu meneliti lebih jauh arti kata teks tersebut dalam penggunaan sehari-hari. Bagaimana perilaku kata teks digunakan bersama kata lain? Apa perbedaan kata teks dengan kata naskah, tulisan, atau kata-kata lainnya yang bersinonim dengannya?
     Namun, permasalahan tersebut tidak dalam ruang lingkup buku ini. Yang ingin ditekankan di sini adalah bahwa meskipun istilah teks adalah sama dan mungkin saja berasal dari kata teks dalam penggunaan sehari-hari, kata teks sebagai sebuah terminologi harus dipahami secara terpisah dari penggunaannya sehari-hari. Hal ini penting disadari sejak awal untuk menghindarkan kita dari kekacauan dalam menggunakan istilah. Dengan demikian, jelas bahwa kata teks yang akan digunakan dalam buku ini tidak memiliki kaitan sama sekali dengan kata teks dalam penggunaan sehari-hari.

3. Tumpang Tindih Istilah Teks dan Wacana

Banyak linguis yang menyamakan pengertian teks dengan pengertian wacana. Sebenarnya hal tersebut tidak menjadi sebuah permasalahan. Seorang linguis boleh saja memberikan pengertian istilah teks  sama dengan pengertian istilah wacana. Sebaliknya, seorang linguis juga boleh memberikan pengertian istilah teks secara berbeda dari pengertian istilah wacana. Perbedaan tersebut merupakan peristiwa yang lazim dalam dunia ilmiah. Yang terpenting adalah (i) bagaimana istilah-istilah tersebut digunakan secara konsisten dan (ii) bagaimana istilah-istilah tersebut didefinisikan dengan jelas, sehingga objek kajian, metode, dan tujuan analisis teks dan analisis wacana juga menjadi jelas.
     Salah satu ketidakajegan penggunaan istilah teks dapat dilihat dalam Rani et.al. (2004:4), yang berdasarkan pemahaman[1] mereka terhadap pendapat Brown dan Yule (1983), mereka menyatakan bahwa dalam komunikasi tulis wujud wacana adalah teks yang berarti hasil dan dalam komunikasi lisan wacana adalah proses komunikasi lisan. Di sini tampak jelas bahwa perbedaan antara istilah teks dengan istilah wacana hanya berada pada tataran penggunaannya. Istilah wacana digunakan untuk meliputi baik fakta lingual tulis maupun lisan, sedangkan istilah teks secara khusus digunakan untuk mengacu pada wacana yang berujud tulis. Akan tetapi, Rani et.al. (2004:10) juga menyatakan bahwa “data analisis wacana selalu berupa teks, baik teks lisan maupun teks tulis, yang digunakan untuk mengacu pada bentuk transkripsi rangkaian kalimat atau ujaran”. Penjelasan tersebut menunjukkan bagaimana istilah teks dan istilah wacana digunakan secara tumpang tindih.
     Sebagian besar buku tentang analisis wacana pada umumnya tidak memberikan pengertian istilah teks secara khusus, tetapi langsung pada penyebutan istilah teks ketika membahas pengertian istilah wacana. Stubbs (1983:9-10) pada awalnya menyatakan bahwa istilah teks dan wacana perlu mendapat perhatian karena penggunaannya sering membingungkan dan ambigu. Namun, pada kenyataannya Stubbs tidak memberikan penjelasan yang memadai tentang istilah teks dan wacana, dan mengambil sikap untuk tidak memberikan perbedaan yang penting di antara keduanya.
     Stubbs memberikan beberapa contoh perbedaan penggunaan istilah teks dan wacana, yaitu (i) teks untuk bahasa tulis sedangkan wacana untuk bahasa lisan, (ii) teks untuk bahasa non-interaktif atau monolog sedangkan wacana untuk bahasa interaktif atau dialog, dan (iii) teks mengimplikasikan realisasi bahasa yang pendek sepert ‘exit dan ‘no smoking sedangkan wacana mengimplikasikan realisasi bahasa yang panjang. Akan tetapi, pada akhirnya Stubbs menyatakan bahwa dari istilah-istilah tersebut dia memiliki preferensi untuk menggunakan istilah wacana karena alasan lebih enak dan mudah (convenience), bukan karena sebuah alasan teoretis. Oleh karena itu, analisis wacana menurut Stubbs (1983:1) digunakan untuk mengacu pada kajian struktur bahasa di atas kalimat atau di atas klausa, dan, dengan demikian, mengacu pada kajian segala satuan-satuan bahasa yang lebih luas seperti percakapan dan teks-teks tulis.
     Stubbs menyatakan tidak akan memberikan dasar perbedaan teoretis antara istilah teks dengan wacana karena perbedaan keduanya hanya perbedaan tipis pada permasalahan penekanannya. Dari penjelasan-penjelasan tersebut, tampak bahwa Stubbs menggunakan (i) istilah teks untuk menekankan bentuk bahasa tulis, (ii) istilah wacana untuk bahasa lisan, dan (iii) istilah analisis wacana untuk analisis keduanya, teks dan wacana. Preferensi serupa diambil oleh Richards, et. al. (1987:83-84) yang menyatakan bahwa analisis wacana merupakan kajian terhadap wacana lisan dan wacana tulisan, yang disebut oleh Stubbs dengan teks; juga oleh Potter (1997:146) yang menyatakan bahwa analisis wacana merupakan kajian “texts and talk in social practices”. Preferensi berbeda diberikan oleh Crystal (1987:116) yang menggunakan istilah analisis teks untuk bahasa tulis dan analisis wacana untuk bahasa lisan.
     Pada hakikatnya, para linguis di atas tidak memberikan perbedaan yang signifikan antara istilah teks dan wacana. Itulah sebabnya banyak linguis yang menyamakan istilah teks dengan istilah wacana, meskipun pada akhirnya istilah wacana dan analisis wacana lebih cenderung untuk dipilih dari pada istilah teks dan analisis teks. Sebagaimana dikatakan oleh  Stubbs, perbedaan antara istilah teks dengan istilah wacana hanya perbedaan penekanan teks untuk bahasa tulis dan wacana untuk bahasa lisan. Tidak terdapat sama sekali kerangka teoretis yang digunakan untuk membedakan keduanya. Preferensi penggunaan (i) istilah wacana untuk mengacu pada bahasa tulis dan lisan dan (ii) analisis wacana untuk mengacu pada analisis bahasa tulis dan lisan banyak dikuti oleh linguis di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah Tarigan (1987:27), Samsuri (1987:1), Kartomiharjo (1993:21), dan Sumarlam (2003:15).
     Karena penggunaan istilah wacana dan analisis wacana yang disebutkan di atas hanyalah permasalahan preferensi dan bukan permasalahan teoretis, kita dapat menggunakan yang sebaliknya dengan alasan preferensi, yaitu menggunakan istilah teks dan analisis teks untuk mengacu pada semua yang disebutkan di atas. Dengan demikian, istilah teks mengacu pada penggunaan bahasa tulis dan bahasa lisan, sementara istilah analisis teks mengacu pada analisis penggunaan bahasa tulis dan bahasa lisan. Tidak terdapat satu pun alasan teoretis yang dapat digunakan untuk menyangkal, melarang, dan apalagi menyalahkan preferensi kedua tersebut, yaitu preferensi penggunaan istilah teks dan analisis teks. Akan tetapi, apa kegunaannya jika preferensi tersebut hanya ingin sekedar berbeda tanpa adanya implikasi teoretis dan metodologis yang diembannya.

4. Beberapa Pengertian Teks: Tinjauan Kritis

Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa selama ini istilah teks dan istilah wacana tidak dibedakan secara signifikan dan tidak memiliki implikasi metodologis. Kedua istilah tersebut sering dipergunakan secara bergantian dalam buku-buku analisis wacana. Dalam bagian ini apa yang disebut dengan istilah teks dan istilah wacana juga tidak dibedakan. Pembahasan dalam bagian ini semata-mata diarahkan untuk mengkritisi batasan-batasan pengertian teks atau wacana yang telah diajukan oleh para linguis yang menyamakan istilah teks dan wacana.
     Halliday dan Hasan (1976) menggunakan istilah teks untuk mengacu pada “any passage, spoken or written, of whatever lenght, that does form a unified whole”. Istilah teks tersebut selanjutnya dijadikan dasar oleh Halliday dan Hasan untuk menilai apakah sebuah produk lingual disebut sebagai teks, yang berarti sebuah satu kesatuan yang padu, atau non-teks (non-text), yang berarti sekumpulan kalimat acak yang saling tidak berkaitan. Teks dibedakan dari non-teks berdasarkan hubungan-hubungan yang ada di dalam kalimat dan antarkalimat. Hubungan-hubungan tersebut menciptakan sebuah tekstur. Teks dicirikan dengan tekstur yang kohesif (padu) dan kekohesifan tekstur tersebut dibentuk oleh penggunaan piranti-piranti kohesi.
     Permasalahannya adalah, sebagaimana dinyatakan oleh Edmondson (1981), atas dasar apa kita membedakan sebuah teks dari non-teks. Sulit rasanya bagi penutur bahasa Indonesia untuk mengatakan bahwa tiga ujaran pada (III.4) merupakan sebuah teks apabila tekstur yang kohesif dijadikan dasarnya. Penggunaan piranti kohesi pelesapan pun tetap tidak berguna, karena ketiga kalimat tersebut tidak memiliki ikatan sama sekali satu dengan lainnya.

(III.4) Kita harus bertemu besok di kantor.
          Rendra sedang pentas di Amerika hingga bulan depan.
          Pak Jaya saat ini dirawat di rumah sakit.
           
Namun, hubungan tiga kalimat tersebut dapat dipahami dengan jelas oleh orang yang berada dalam konteks lahirnya ketiga kalimat tersebut. Bahkan, kita pun juga akan segera mengenali hubungan ketiganya jika konteks ketiga kalimat tersebut dimunculkan seperti tampak pada (III.5).

(III.5)  Pak Jaya berencana mengadakan sebuah talk show mengenai sastra dalam bulan ini. Dia mengajak Roni dan Toni untuk membantu penyelenggaraannya. Pada tengah bulan, ternyata Pak Jaya harus dirawat rumah sakit paling tidak hingga dua minggu ke depan. Roni kebetulan memperoleh informasi bahwa W. S. Rendra ternyata sedang melakukan tur pentas di Amerika hingga bulan depan. Kemudian, Roni menulis sebuah pesan (III.4) di secarik kertas karena tidak bertemu dengan Toni ketika bertandang ke rumahnya untuk membicarakan permasa-lahan tersebut.

Berdasarkan informasi konteks (III.5), tiga kalimat yang tidak kohesif tersebut merupakan sebuah kesatuan yang padu dalam pengertian dapat dipahami (interpretable) berdasarkan konteksnya. Tampaknya Halliday dan Hasan memisahkan daya keterpahaman sebuah teks yang dipisahkan dari konteks. Jika itu yang dipakai, kita akan mendapati banyak penggunaan bahasa yang dapat dikatakan bukan sebagai teks karena tidak kohesif.
     Penggunaan kata passage[2] dalan definisi teks menurut Halliday dan Hasan (1976) mengimplikasikan bahwa yang dimaksud teks terdiri atas lebih dari dua kalimat. Dengan demikian, apa yang dimaksud teks oleh mereka berada dalam batasan (i) bersifat kohesif dan (ii) lebih dari dua kalimat. Apabila sebuah fakta lingual tidak memenuhi dua batasan tersebut, fakta lingual tersebut bukan teks. Itulah sebabnya fakta lingual (III.4) tidak dapat dikatakan sebagai sebuah teks karena tidak kohesif. Sementara itu, fakta lingual ‘buka’ atau ‘tutup’ yang terpampang di pintu sebuah toko dan fakta lingual ‘exit’ atau ‘transit’ yang terpampang di sebuah ruangan bandara udara juga tidak dapat dikatakan sebuah teks karena hanya terdiri atas satu kata, yang juga berarti tidak memiliki kohesi sama sekali.
     Berdasarkan pembahasan secara menyeluruh dalam bukunya, definisi teks sebagai “a structured sequence of linguistic expressions forming a unitary whole” (Edmondson 1981:4) juga dapat diartikan mengacu pada fakta lingual yang lebih dari dua kalimat. Hal tersebut dikuatkan oleh pemahaman Sumarlam (2006:22), yang menyatakan bahwa

teks dapat dipahami sebagai suatu rangkaian pernyataan bahasa secara terstruktur[3]. Lirik lagu “Yen ing Tawang Ono Lintang”[4] merupakan sebuah teks karena di dalam lagu tersebut terdapat rangkaian pernyataan bahasa, secara konkret berupa untaian kata-kata dan baris-baris kalimat yang disusun oleh pencipta lagu tersebut.

Tampak jelas bahwa Sumarlam sependapat dengan Edmondson dalam mendefinisikan teks, meskipun pada tempat lain Sumarlam tidak menggunakan istilah teks tetapi istilah wacana. Dengan demikian, istilah teks dan wacana dapat digunakan secara bertukar oleh Sumarlam tanpa implikasi apapun.
     Persetujuan Sumarlam terhadap definisi teks yang diajukan oleh Edmondson tersebut dapat berakar pada definisi wacana menurut Sumarlam (2003:15) yang menyatakan bahwa wacana adalah

satuan bahasa terlengkap yang dinyatakan secara lisan seperti pidato, ceramah, khotbah, dan dialog, atau secara tertulis seperti cerpen, novel, buku, dan dokumen tertulis, yang dilihat dari struktur lahirnya (dari segi bentuk) bersifat kohesif, saling terkait dan dari struktur batinnya (dari segi makna) bersifat koheren, terpadu.

Definisi wacana tersebut (Sumarlam 2003:15, 2006:22) mengimplikasikan bahwa wacana (i) dapat berupa fakta lingual tulis atau lisan, (ii) lebih dari satu kalimat, (iii) bersifat kohesif, dan (iv) bersifat koheren. Konsekuensi logis dari definisi tersebut adalah penciptaan batasan apa yang disebut wacana. Jika sebuah fakta lingual tidak memenuhi salah satu dari empat batasan tersebut, fakta lingual itu tidak dapat disebut dengan wacana.
     Dengan empat batasan tersebut, terdapat fakta-fakta lingual yang tidak dapat dikatakan sebagai sebuah wacana. Pertama adalah fakta lingual yang mungkin terdiri atas bahasa tulis dan bahasa lisan secara bersamaan. Definisi wacana yang diajukan oleh Sumarlam tidak menyebutkan kemungkinan fakta lingual yang di dalamnya terdiri atas fakta lingual tulis dan lisan. Contoh fakta lingual tersebut adalah teks berita dalam surat kabar seperti tampak dalam cuplikan teks berita pada (III.6).

(III. 6)   Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kembali mengingatkan kepala daerah untuk lebih sering turun ke lapangan untuk melihat langsung kondisi warga di wilayahnya masing-masing. Itu dilakukan agar program pembangunan yang direncanakan betul-betul sesuai dengan kebutuhan masyarakat. “Kepada bupati dan gubernur, sering-seringlah turun ke lapangan agar dapat mengetahui langsung keadaan yang sesungguhnya,” kata Presiden SBY usai temu wicara dengan tokoh masyarakat Desa Karang Tengah, Sentul, Kabupaaten Bogor, Minggu (20/5).
               (Sumber: Suara Merdeka, 21 Mei 2007).

Tidak dapat disangkal bahwa cuplikan teks berita (III.6) tersebut secara fisik adalah fakta lingual tulis karena terdapat pada sebuah seurat kabar. Akan tetapi, apabila kita dikaji lebih mendalam, cuplikan tersebut mengandung sebuah kutipan langsung yang berarti transkrip ortografis sebuah fakta lingual lisan. Meskipun berupa transkrip, fakta lingual tersebut tetap merupakan fakta lingual lisan. Oleh karena itu, cuplikan teks berita tersebut adalah fakta lingual yang di dalamnya terdapat fakta lingual tulis dan fakta lingual lisan. Seharusnya definisi wacana tersebut menggunakan kata ‘dan atau’ utuk merangkai “....... secara lisan ..... dan atau secara tulis .......”. Mungkin saja sebenarnya pemahaman ini yang dimaksudkan, tetapi sebagai sebuah definisi hal terebut tidak dapat diterima.
     Fakta lingual kedua yang tidak dapat dikatakan sebagai sebuah wacana adalah fakta lingual yang hanya terdiri atas sebuah kata seperti ‘buka’, ‘tutup’,  ‘exit’, ‘entrance’, ‘ruang tunggu’, ‘kedatangan’, dan ‘pemberangkatan’. Fakta lingual ketiga yang tidak dapat dikatakan sebagai sebuah wacana adalah fakta lingual yang struktur lahirnya tidak kohesif dan atau fakta-fakta lingual yang struktur batinnya tidak koheren. Contohnya adalah fakta lingual (III.4), yang sama sekali tidak bersifat kohesif.
     Implikasinya adalah fakta lingual (III.4) dan (III.6) tidak dapat disebut sebagai sebuah wacana menurut definisi tersebut. Karena tidak memenuhi kriteria definisi sebuah wacana, fakta lingual (III.4) dan (III.6) tidak menjadi objek analisis wacana. Kalau fakta-fakta lingual tersebut tidak wacana, fakta-fakta lingual apakah semua itu. Karena bukan wacana, fakta-fakta tersebut akhirnya tentu saja tidak dapat dianalisis oleh analisis wacana. Pun jika tetap dianalisis, maka kegiatan tersebut dapat dikatakan bukan kegiatan analisis wacana. Lantas, kegiatan analisis apakah yang menganalisis fakta-fakta lingual tersebut.
     Apabila kita melihat definisi-definisi wacana yang diajukan oleh kebanyakan linguis, definisi-definisi tersebut hampir memiliki permasalahan yang sama. Berikut akan saya sajikan tiga contoh definisi wacana yang memikili batasan kurang lebih sama dengan definisi Edmondson (1981:4) dan Sumarlam (2003:15, 2006:22). Selanjutnya, definisi-definisi tersebut akan diulas secara memadai untuk melihat sejauh mana definisi-definisi tersebut dapat dioperasionalkan.
     Definisi pertama yang akan disajikan adalah definisi wacana yang diajukan oleh Tarigan (1987:27), yang menyatakan bahwa

wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi yang berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir yang nyata disampaikan secara lisan atau tertulis.

Sebagai seorang penutur bahasa Indonesia, kita sepintas dapat memahami apa yang dimaksud dengan wacana menurut Tarigan tersebut tanpa kesulitan. Akan tetapi, jika kita menelisik definisi wacana tersebut secara seksama, apa yang dimaksud dengan wacana oleh Tarigan ternyata cukup membingungkan dan tumpang tindih.
     Permasalahan utama penyebab tumpang tindih definisi wacana menurut Tarigan adalah penggunaan kata ‘atau’ yang tidak tepat pada rangkaian “ ...di atas kalimat atau klausa...”. Pertama yang dimaksud dengan “di atas kalimat atau klausa” dapat berarti penyamaan istilah kalimat dengan klausa. Jika itu yang dimaksudkan, tentunya pernyataan “dia sedang memasak sambil melihat TV” adalah sebuah klausa karena pernyataan tersebut adalah sebuah kalimat. Namun, tidak seorang linguis pun yang menyatakan bahwa pernyataan tersebut sebuah klausa, tetapi sebuah kalimat dan tepatnya kalimat majemuk. Sebuah klausa hanya memiliki satu fungsi sintaktis predikat di dalamnya, sedangkan sebuah kalimat dapat memiliki lebih dari satu fungsi sintaktis predikat di dalamnya. Jika kata ‘atau’ berarti penyamaan, itu berarti definisi tersebut berada dalam sebuah kesalahan medasar.
     Kedua, yang dimaksud dengan “di atas kalimat atau klausa” dapat berarti dua hal yang berbeda, yaitu (i) wacana berada di atas kalimat sebagai sebuah kemungkinan dan (ii) wacana berada  di atas klausa sebagai sebuah kemungkinan lain. Jika itu yang dimaksudkan, batasan wacana yang diajukan menjadi tumpang tindih dan kabur. Bagaimana mungkin wacana dapat berada dalam dua tempat yang berbeda? Jika wacana adalah satuan bahasa di atas kalimat, apa yang dimaksud dengan kalimat oleh Tarigan, (i) kalimat tunggal yang berarti hanya memiliki satu fungsi sintaktis predikat atau (ii) kalimat majemuk yang dapat memiliki lebih dari satu fungsi sintaktis predikat di dalamnya. Jika yang dimaksudkan dengan kalimat adalah kalimat tunggal, permasalahan yang dihadapi adalah penyamaan ‘kalimat atau klausa’ sebagaimana dipaparkan sebelumnya. Jika yang dimaksudkan dengan kalimat adalah kalimat majemuk, permasalahannya adalah wacana, di satu sisi, berbentuk dua atau lebih kalimat dan, di sisi lain, wacana dapat berbentuk satu kalimat majemuk mengingat kalimat majemuk di atas klausa.
     Di samping permasalahan tersebut, definisi wacana menurut Tarigan menghadapi permasalahan dengan apa yang dimaksud dengan “koherensi dan kohesi yang tinggi”. Fakta lingual (III.4) tidak memiliki kohesi sama sekali, dan karenanya tidak dapat disebut sebagai wacana. Seberapa tinggi sebuah fakta lingual harus memiliki koherensi dan kohesi untuk dapat dikatakan sebagai sebuah wacana? Tentu saja pada kenyataannya sulit untuk membuat parameternya. Yang terpenting adalah bahwa apapun ukuran “koherensi dan kohesi yang tinggi” akan mengakibatkan pada pengabaian fakta-fakta lingual seperti (III.4).
Permasalahan lain yang dihadapi adalah sama dengan definisi wacana menurut Sumarlam. Permasalahan tersebut adalah (i) menempatkan wacana dalam pengertian tataran dalam satuan bahasa di atas kalimat dan (ii)  penyampaian secara lisan atau tulis. Yang pertama mengabaikan fakta-fakta lingual yang hanya terdiri atas satu kata dan yang kedua mengabaikan fakta-fakta lingual yang di dalamnya terdapat fakta lingual lisan dan tulis secara bersama seperti (III.6).
     Definisi kedua yang akan disajikan adalah definisi wacana yang diajukan oleh Stubbs  (1983:1), yang menyatakan bahwa

I will use it (text analysis) in this book to refer mainly to the linguistic analysis of naturally occuring connected spoken or written disccourse (tect). Raoughly speaking, it refers to attempts to study the organization of language above the sentence or above the clausse, and therefore to study larger linguistic units, such as conversational exchange or written text.

Permasalahan yang dihadapai oleh definisi tersebut adalah sama dengan yang dihadapi oleh definisi menurut Sumarlam dan Tarigan. Kesamaan definisi tersebut dengan dua definisi sebelumnya terletak pada pemposisian wacana sebagai tataran yang lebih tinggi dari kalimat yang berarti juga mengabaikan fakta-fakta lingual yang hanya terdiri atas satu kata. Di samping itu, definisi tersebut juga menghadapi permasalahan yang sama dengan definsi wacana menurut Tarigan ketika membuat pernyataan “above the sentence or above the clause”. Tidak jelas apa yang dimaksud dengan penggunaan istilah kalimat dan klausa dalam definisi wacana menurut Stubbs tersebut.
     Dapat kita simpulkan bahwa definisi-definisi wacana di atas tidak dapat melingkupi semua fakta-fakta penggunaan bahasa yang dapat kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Kelemahan utama definisi-definisi wacana tersebut terletak batasan formalnya terhadap wacana. Batasan formal yang pertama adalah dari segi realisasi lingualnya yang harus lebih dari satu kalimat dan pada umumnya digambarkan seperti sebuah karangan untuk wacana tulis dan pidato tanpa teks untuk wacana tulis. Batasan formal yang kedua adalah dari segi kekohesifannya, sehingga sebuah teks atau wacana dapat dikatakan teks atau wacana apabila bersifat kohesif meskipun parameter kekohesifan tersebut juga belum jelas.

5. Beberapa Kritik terhadap Analisis Wacana


Pengertian istilah teks atau wacana yang telah dibahas di atas memiliki implikasi langsung terhadap pengertian analisis wacana selama ini. Apabila pengertian istilah teks atau wacana di atas menunjukkan beberapa kelemahan, tentunya kelemahan tersebut juga akan berimplikasi pada pengertian analisis wacana. Sebagaimana istilah teks atau wacana yang tidak terdefinisikan dengan jelas, pengertian analisis wacana sebagai sebuah bidang kajian tersendiri selama ini juga tidak banyak dibahas (Schiffrin, 1994). Berikut ini akan dibahas permasalahan-permasalahan yang terdapat dalam pengertian analisis wacana yang ada selama ini sebagai implikasi dari permasalahan-permasalahan dalam pengertian teks dan wacana. 

3.5.1 Objek Kajian
Jika istilah teks dan istilah wacana sering dipertukarkan karena memiliki pengertian yang sama, tidak halnya demikian dengan istilah analisis teks dan analisis wacana. Istilah analisis wacana hampir selalu digunakan untuk mengacu pada kegiatan menganalisis teks atau wacana. Dengan demikian, jelas bahwa analisis wacana dapat dipahami sebagai sebuah kegiatan analisis terhadap wacana. Tentu saja, sebagaimana disebutkan di atas, analisis wacana hanya merujuk pada analisis terhadap fakta-fakta yang memenuhi kriteria definisi wacana. Kegiatan menganalisis fakta-fakta lingual seperti ‘tutup’ dan ‘buka’ tidak dapat dikatakan sebagai analisis wacana karena fakta-fakta lingual tersebut tidak termasuk dalam definisi wacana di atas.
     Dengan kata lain, dapat kita katakan bahwa objek kajian analisis wacana adalah wacana atau teks karena kedua istilah tersebtu disamakan. Jika sebuah faka lingual tidak memenuhi definisi wacana atau teks yang telah disebutkan di atas, fakta lingual tersebut bukan wacana atau teks. Itu berarti bahwa fakta lingual tersebut bukan objek kajian analisis wacana. Dengan kata lain, kita dapat menyimpulkan bahwa tidak semua fakta lingual yang secara nyata digunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah objek kajian wacana seperti dicontohkan sebelumnya.

3.5.2 Metode Kajian

Seiring dengan berkembangannya pemikiran bahwa bahasa juga bersifat sosial sebagaimana dipelopori oleh Firth (1959) dengan konsepnya ‘sociological linguistics’, akhirnya diakui bahwa wacana tidak dapat dipahami hanya secara formal. Untuk itulah mereka memasukkan unsur konteks dalam wacana yang sesungguhnya tidak mereka cakup dalam definisi wacana, kecuali hanya kata koherensi. Berkaitan dengan hal ini, mereka menggunakan istilah analisis wacana kontekstual, sebuah analisis fungsional yang dilakukan pada konstituen-konstituen pembentuk wacana dalamkaitannya dengan konteksnya. Analisis wacana kontekstual pada hakikatnya merupakan analisis yang sudah dilakukan dalam bidang kajian lain, terutama Pragmatik dan Teori Tindak Tutur[5]. Tidak mengherankan, oleh karena itu, analisis wacana kontekstual dilakukan dengan cara seperti analisis bahasa dalam bidang Pragmatik dan Teori Tindak Tutur. Bahkan, Lubis (1993) menyebut bukunya dengan judul Analisis Wacana Pragmatik, karena di satu sisi analisisnya adalah analisis kohesi, yaitu analisis wacana struktural, di sisi lain analisisnya adalah analisis kontekstual yang sebenarnya adalah analisis pragmatik.
     Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut tampak jelas bagaimana permasalahan-permasalahan yang ditimbulkan oleh kelemahan pandangan wacana secara struktural. Secara struktural, objek kajian analisis wacana adalah satuan bahasa di atas kalimat, metode kajiannya adalah analisis relasi konstituen-konstituen (kalimat-kalimat) pembentuk wacana, dan tujuan kajiannya adalah memerikan struktur wacana yang kemudian diinterpretasikan sebagai makna wacana. Pada hakikatnya, analisis wacana struktural memiliki objek, metode, dan tujuan kajian yang jelas. Permasalahannya adalah (i) objek kajiannya tidak mencakup semua fakta lingual yang ada, (ii) konteks tidak dilibatkan, dan (iii) karenanya analisisnya bersifat formal dan tidak kontekstual.
     Berdasarkan kelemahan-kelemahan tersebut, analisis wacana struktural generasi baru, terutama di Indonesia, memasukkan konteks wacana sebagai bagian dalam melakukan analisis wacana di samping analisis kohesinya. Dengan demikian, mereka memiliki dua jenis analisis wacana, yaitu (i) analisis wacana tekstual yang difokuskan pada analisis kohesi dan (ii) analisis wacana kontekstual[6] yang difokuskan pada analisis koherensi. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya, kelemahan tidak terselesaikan bahkan menambah masalah baru. Pertama, wacana masih juga didefinisikan secara struktural, dan kedua analisis kontekstualnya secara metodologis tumpang tindih dengan bidang kajian lain seperti Pragmatik, Teori Tindak Tutur, dan Etnografi Komunikasi. Akhirnya, apa yang disebut dengan analisis wacana, setidaknya dari sudut pandang analisis wacana secara struktural, saat ini memiliki kekaburan ontologi (objek kajian), epistemologi (metode kajian), dan aksiologinya (tujuan kajiannya). Hal ini harus diselesaikan jika Analisis Wacana ingin dikatakan sebagai sebuah cabang kajian dalam Linguistik yang mandiri dan berbeda dari cabang kajian lain seperti Pragmatik, Analisis Percakapan, Teori Tindak Tutur, Sosiolinguistik Interaksional, dan Etnografi Komunikasi.

3.6 Rangkuman

Istilah teks dan wacana merupakan dua istilah yang sering digunakan ketika orang melakukan analisis penggunaan bahasa. Namun, penggunaannya yang relatif luas tersebut ternyata tidak membuat istilah teks dan wacana memiliki pengertian yang jelas. Karena kedua istilah tersebut telah terdengar begitu akrab, keduanya seolah-olah telah dipahami dengan jelas. Tidak mengherankan apabila kedua istilah tersebut tidak pernah mendapat perhatian serius secara khusus dan didefinisikan dengan jelas.
     Bab ini telah memperlihatkan bahwa istilah teks dan wacana selama ini digunakan secara tumpang tindih. Pada satu saat keduanya dibedakan, tetapi pada saat yang lain keduanya disamakan. Di samping penggunaan istilah teks dan istilah wacana yang tumpang tindih, istilah wacana didefinisikan sebagai sebuah produk lingual secara struktural per se. Definisi teks secara struktural ini tidak dapat mencakup semua fakta lingual yang terdapa dalam kehidupan sehari-hari.
     Di samping itu, akhir dari bab ini juga telah membahas hubungan antara definisi teks dan wacana dengan objek, metode, dan tujuan analisis wacana. Ketidakjelasan definisi teks dan wacana ini pada akhirnya berimplikasi langsung terhadap kekaburan objek, metode, dan tujuan kajiannya. Terdapat dua jenis kekaburan dalam hal ini. Kekaburan pertama berkaitan dengan apa objek kajian analisis wacana, bagaimana metode analisisnya, dan apa tujuann analisisnya. Kekaburan kedua berkaitan dengan munculnya istilah analisis wacana tekstual dan analisis wacana kontekstual.





[1] Pemahaman Rani et. al. (2004:4) tentang apa yang dimaksud oleh Brown dan Yule (1983) dengan text-as-product dan discourse-as-process menurut saya tidak tepat seperti yang dirangkum dalam bukunya.  Apa yang dimaksud dengan text-as-product dan discourse-as-process oleh Brown dan Yule dapat padankan dengan perbedaan antara teks dengan wacana menurut Edmondson (1981). Text-as-product tidak dalam pengertian teks adalah produk tulis dan discourse-as-process tidak dalam penegrtian wacana adalah proses lisan, perbedaan keduanya terletak pada orientasinya dalam melihat sebuah rangkaian ekspresi lingual seperti dapat dilihat dalam pembahasan 3.3 dan 3.4.
[2] Menurut Longman Dictionary of Contemporary English (1978) berarti “short part of speech or a piece of writing or music, condidered by itself “
[3] Pernyataan tersebut sebenarnya pernyataan definsi teks yang diajukan oleh Edmondson (1981:4)
[4] Yen Ing Tawang Ono Lintang adalah sebuah lagu berbahasa Jawa.
[5]  Pandangan saya ini dapat dijustifikasi dengan elaborasi permasalahan-permasalahan seperti Praanggapan, Implikatur, dan Inferensi yang merupakan piranti analisis dalam Pragmatik sebagaimana dipraktikkan dalam Lubis (1993), Sumarlam (2003), dan Rani et. al. (2004)
[6] Berdasarkan pembahasan dalam bagian 3.3, saya dapat menyimpulkan bahwa analisis wacana tekstual pada hakikatnya adalah analisis wacana itu sendiri secara struktural dan analisis wacana kontekstual adalah analisis pragmatik dan tindak tutur.

No comments:

Post a Comment