Kelanjutan dari cuplikan disertasi sebelumnya "permasalahan pengertian arti literal"
(Kusmanto, Joko. 2014. Konsep-konsep Teoretis Tuturan Metaforis dalam Semantik, Pragmatik, dan Linguistik Kognitif: Kajian Metalingual Lokus Makna dan Kebermaknaan Tuturan Metaforis dalam Linguistik Teoretis. Disertasi tidak dipublikasikan. Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret.)
(Kusmanto, Joko. 2014. Konsep-konsep Teoretis Tuturan Metaforis dalam Semantik, Pragmatik, dan Linguistik Kognitif: Kajian Metalingual Lokus Makna dan Kebermaknaan Tuturan Metaforis dalam Linguistik Teoretis. Disertasi tidak dipublikasikan. Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret.)
Fleksibilitas semantik
sebagaimana ditunjukkan oleh kalimat dalam (7) dan (8) memperlihatkan bahwa
terdapat dua nosi yang berkaitan dengan pengertian istilah “arti”. Nosi pertama
adalah arti yang bersifat tetap dan murni bebas konteks dan nosi kedua adalah
arti yang bersifat sesaat sesuai dengan konteks lingualnya. Perlu ditegaskan
bahwa pengertian konteks di sini dibatasi hanya pada konteks lingual untuk
tetap dapat sejalan dengan prinsip komposisionalitas dan prinsip kemurnian
semantik. Berdasarkan permasalahan arti literal, prinsip komposisionalitas
perlu dimodifikasi menjadi (9).
(9) Arti ekspresi
kompleks e dalam suatu bahasa L
ditentukan oleh struktur e dalam L
dan arti konstituen e dalam L secara
kolektif.
Dengan demikian, arti sebuah ekspresi kompleks
tidak semata-mata ditentukan oleh arti konstituennya secara individual saja
sebagaimana disebutkan dalam pembahasan prinsip komposisionalitas pada bagian
C.1.a. (hal.95).
Sementara itu,
modifikasi yang disumbangkan untuk prinsip kemurnian semantik adalah bahwa
pengertian bebas konteks dalam prinsip kemurnian semantik tidak bersifat
absolut meskipun juga tidak diperluas meliputi maksud penutur (speaker meaning). Dengan kata lain,
konteks tersebut merupakan konteks minimal sebagaimana satuan lingual
indeksikal. Konteks tersebut bersifat mandatori agar satuan lingual yang
dimaksud dapat dievaluasi kebenarannya. Meaning
dalam pengertian prinsip komposisionalitas (9) dan prinsip kemurnian semantik
seperti ini merupakan kajian meaning
yang seharusnya menjadi prinsip kajian meaning
dalam teori SM. Sementara itu, SM saat ini hanya mengakomodasi konteks
untuk satuan lingual indeksikal yang menurut mereka bersifat mandatori dalam
menentukan truth-condition kalimat.
Dua nosi arti, yaitu
“arti tetap” dan “arti sesaat”, dikenalkan oleh Quine (1960:36) dengan istilah standing sentence dan occasion sentence. Menurut Quine, standing sentence adalah kalimat yang
artinya dapat digunakan secara berulang-ulang kapan saja tanpa dipengaruhi oleh
situasi. Sementara itu, occasion sentence
adalah kalimat yang artinya dipengaruhi oleh konteks. Pada tataran yang lebih
kecil, Recanati (2010:33) menjelaskan bahwa “arti tetap” adalah “the meaning which the word (type) has in
isolation, in virtue of the occasion of the language”, sedangkan “arti
sesaat” adalah “the meaning which an
occurance of the word takes on in a particular linguistic context”.
Yang menjadi
permasalahan adalah apakah “arti tetap” dan “arti sesaat” disebut sebagai arti
tersendiri dan terpisah, sehingga sebuah satuan lingual dapat dikatakan
memiliki dua tipe arti. Jika satuan lingual memotong
dikatakan memiliki arti, arti manakah yang sesungguhnya merupakan artinya.
Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah menggunakan
penjelasan Kaplan (1977/1989) tentang satuan lingual indeksikal seperti,
misalnya, pronomina ‘saya’ dalam kalimat (10).
(10) Saya seorang guru.
Menggunakan perbedaan antara “arti tetap” dengan
“arti sesaat”, secara intuitif penutur bahasa Indonesia mengetahui arti tetap
pronomina saya di dalam kalimat (10).
Pronomina saya dalam kalimat (10)
merupakan salah satu contoh satuan lingual yang sensitif terhadap konteks. Jika
tidak diletakkan dalam konteks penggunaannya, isi pronomina saya sebagai “arti sesaatnya” tidak
diketahui sama sekali. Siapakah orang yang diacu oleh pronomina saya dalam (10) dapat siapa saja, tetapi
yang jelas satuan lingual saya mengacu
pada orang pertama yang menuturkannya.
Berdasarkan fenomena
itu, Kaplan (1977/1989) mengembangkan sebuah pendekatan terhadap satuan-satuan
lingual yang sensitif terhadap konteks. Kaplan membuat sebuah perbedaan antara
karakter (character) dengan isi (content) yang dimiliki oleh suatu satuan
lingual dan juga perbedaan antara konteks tuturan (context of utterance) dengan lingkungan evaluasi (circumstance of evaluation). Istilah
“karakter” mengacu pada ‘sebuah fungsi dari konteks tuturan ke isi’. Inilah
yang secara intutif merupakan arti satuan lingual indeksikal yang bersifat
tetap dan bebas konteks. Pengertian karakter menurut Kaplan ini menyerupai
istilah teoretis “arti tetap” (standing
meaning). Sementara itu, “isi” adalah ‘sebuah fungsi dari lingkungan
evaluasi ke referen’. Pengertian isi menurut Kaplan ini menyerupai istilah
“arti sesaat”.
Menurut penjelasan
Kaplan, kalimat (10) belum merupakan sebuah proposisi karena pronomina saya belum bereferen pada siapapun.
Dengan kata lain, kalimat (10) pada hakikatnya sebuah ekspresi lingual yang
belum memiliki “arti”. Jika ada yang mengatakan bahwa kalimat (10) sudah
memiliki “arti” yang dapat dipahami, maka yang dimaksudnya dengan “arti” pasti
berupa “arti tetap”, yaitu ‘arti yang belum utuh’. Keadaan akan menjadi berbeda
jika kalimat (10) dibuat menjadi (11).
(11) Gareng
berkata kepada Petruk: “Saya seorang guru”.
Di sini pronomina saya diletakkan dalam satu konteks tuturan tertentu dan pronomina
tersebut selanjutnya memiliki isi. Isi pronomina saya dalam tuturan (11) adalah ‘Gareng’. Selanjutnya, kalimat (11)
yang sudah menunjukkan isinya tersebut akan memiliki nilai kebenarannya[1] (truth value) atau dapat dievaluasi benar salahnya jika diletakkan
dalam lingkungan evaluasinya.
Tampak bahwa secara
sekilas terdapat kemiripan antara pembedaan “arti tetap” dan “arti sesaat” di
satu sisi dengan pembedaan “karakter” dan “isi” di sisi lain. Perbedaan
keduanya terletak pada pengoperasi-onalannya. Istilah “arti tetap” dan “arti
sesaat” lebih mengacu pada pendeskripsian suatu entitas sedangkan istilah
“karakter” dan “isi” lebih pada pendeskripsian suatu fungsi. Yang penting untuk
dicermati adalah bahwa semua satuan lingual sekaligus memiliki kandungan
seperti “karakter” dan “isi” untuk satuan lingual indeksikal. Meskipun
eksplanasi Kaplan tersebut pada awalnya secara khusus berkaitan dengan satuan
lingual indeksikal, proposal Kaplan tersebut juga dapat diterapkan pada tataran
tuturan sebagaimana diusulkan oleh kalangan semantik literal (selanjutnya
ditulis SL) seperti Stern (2000) dan kalangan yang melakukan kajian semantik
dalam konteks seperti Leezenberg (2001).
Penjelasan Kaplan
tentang karakter dan isi yang dimiliki oleh satuan lingual tersebut dapat
disajikan dalam Gambar 4.1.
Isi dalam Teori Kaplan
Menurut Kaplan, satuan-satuan lingual yang
sensitif konteks seperti satuan lingual indeksikal tidak memiliki “isi” atau
“referen” ketika berdiri sendiri. Yang dimiliki oleh satuan lingual tersebut
adalah “karakter”. Dalam hal ini, “karakter” dapat disamakan dengan “arti
tetap” yang bersifat bebas konteks. Secara intuitif penutur bahasa Indonesia mengetahui
karakter pronomina saya, namun tidak
mengetahui referennya jika berdiri sendiri. Ketika satuan lingual tersebut
diletakkan dalam konteks tuturan, interaksi keduanya menghasilkan “isi” satuan
lingual saya. Dalam tuturan (11),
interaksi tersebut menunjukkan ‘Gareng’ sebagai “isi” atau “referen” satuan
lingual saya.
Teori Kaplan tentang meaning tersebut dapat dikategorikan
sebagai pendekatan dua-dimensi (two-dimensional
approaches) dalam teori semantik, yaitu pendekatan yang mengakui adanya dua
dimensi arti dalam satuan lingual. Konseptualisasi pengertian “arti” menjadi
“arti tetap” dan “arti sesaat” juga termasuk pendekatan dua-dimensi arti satuan
lingual. Pendekatan dua dimensi arti satuan lingual yang secara konseptual
memiliki keserupaan dengan pasangan istilah “karakter/isi” dan “arti tetap/arti
sesaat” adalah pasangan istilah “intensi/ekstensi”, istilah “konotasi/denotasi[2]”, dan “sense/referen”.
Namun konsep teoretis yang terkandung di dalam pasangan istilah-istilah
“intensi/ekstensi”, istilah “konotasi/denotasi”, dan “sense/referen” lebih memiliki kemiripan dengan konsep teoretis
istilah “intensi/ekstensi” dari pada istilah “karakter/isi”.
Perbedaannya terletak
pada bagaimana Kaplan memasukkan (i) konsep “konteks tuturan” untuk fungsi dari
“karakter” ke “isi” dan (ii) konsep teoretis “lingkungan evaluasi” untuk fungsi
dari “isi” ke “proposisi”. Konsep teoretis “konteks tuturan” berfungsi
mengatasi ambiguitas arti kalimat, sedangkan konsep teoretis “lingkungan
evaluasi” berfungsi menjadikan kalimat sebagai sebuah proposisi yang memiliki truth-value (nilai benar tidaknya). Oleh
karena itu, konsep teoretis yang terdapat dalam istilah “karakter/isi” dan
“konteks tuturan/lingkungan evaluasi” lebih kaya dari pada konsep teoretis
dalam istilah “arti tetap/arti sesaat”, istilah “intensi/ekstensi”, dan
“konotasi/denotasi”. Hal itu disebabkan karena istilah “isi” mengacu pada
referen yang di dalamnya sekaligus mengandung konsep teoretis pada tataran literal truth-condition (benar salah
secara literal) dan factual
truth-condition (benar salah secara faktual).
No comments:
Post a Comment