Tuesday, August 15, 2017

Mendefinisikan Pengertian Teks

1. Pengantar


Pengertian istilah teks yang banyak digunakan selama ini, sebagaimana dijelaskan dalam bab 3, memiliki sejumlah kelemahan. Kelemahan utama yang terkandung dalam istilah teks selama ini, pertama, adalah digunakan secara tumpang tindih dengan istilah wacana  Di satu sisi, kadang kala istilah teks dan wacana dibedakan tetapi, di sisi lain, keduanya disamakan dan digunakan secara bergantian. Kedua, istiah teks dipandang secara struktural sebagai sebuah produk lingual yang terdiri atas kalimat-kalimat. Di sini, istilah teks digambarkan sebagai sebuah karya tulis seperti esai, narasi, syair lagu, dan lain sebagainya atau sebuah kegiatan berbahasa lisan seperti percakapan, memberi kuliah, pidato, dan lain sebagainya. Gambaran istilah teks seperti itu mengabaikan banyak fakta ligual dalam kehidupan sehari-hari yang hanya terdiri atas satu kalimat bahkan hanya satu kata. Ketiga, istilah teks tidak memiliki implikasi inheren terhadap konteks karena definisi struktutralnya.
     Pengunaan istilah teks dan wacana yang tumpang tindih dan pemahaman cakupan istilah teks yang mengabaikan banyak fakta lingual menjadikan definisi istilah teks sangat penting. Tujuan yang akan dicapai oleh definisi teks ini, dengan demikian, adalah, pertama, untuk memungkinkan istilah teks dapat mencakup semua fakta lingual yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, definisi teks diharapkan dapat mendudukkan perbedaan antara istilah teks dengan istilah wacana secara signifikan. Artinya, perbedaan tersebut bukan bersifat terminologis belaka tetapi memiliki implikasi metodologis. Terakhir, definisi teks juga harus mampu memperlihatkan bahwa konteks merupakan unsur inheren yang tidak dapat diletakkan di antara kutub analisis kontekstual dengan kutub analisis tekstual.
     Di dalam bab ini pembahasan definisi teks dimulai dari definisi-definisi teks yang sudah ada yang tidak bernuansa struktural. Definisi pertama didasarkan pada aspek isi teks dan definisi kedua didasarkan pada aspek penggunaannya. Berdasarkan dua definisi tersebut, bab ini mengajukan definisi teks yang akan digunakan sebagai acuan untuk bab-bab berikutnya.

2. Teks: Satuan Bahasa Beramanat Lengkap

Sumber utama permasalahan dalam definisi istilah wacana yang disamakan dengan istilah teks dalam tradisi struktural adalah sikap ambivalen mereka terhadap sebuah fakta lingual. Di satu sisi, mereka memandang teks sebagai satuan bahasa yang secara struktural menduduki hirarki tertinggi setelah satuan bahasa kalimat. Di sini teks didefinisikan berdasarkan urutan struktural satuan bahasa mulai dari fonem, morfem, frasa, klausa, kalimat, dan wacana Definisi ini sama sekali tidak berurusan dengan fakta-fakta bahasa dalam penggunaan dan analisis yang dilakukan dinamakan analisis tekstual. Di sisi lain, mereka mengakui peran konteks dalam bahasa yang berarti pandangannya bersifat fungsional dan menggunakan istilah analisis kontekstual. Dengan demikian, kita dapat melakukan analisis kontekstual yang tidak tekstual dan analisis tekstual yang tidak kontekstual. Permasalahan dalam hal ini dibahas secara khusus dalam bab 5 dan bab 6.
     Dibandingkan dari definisi-definisi wacana (teks)[1] yang ada, Kridalaksana (1983:179) tidak mendefinisikan wacana (teks) sebagai satuan bahasa di atas kalimat. Dia hanya menyebutkan bahwa “wacana (teks) adalah satuan bahasa terlengkap; dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar”. Itulah sebabnya dia dapat mengatakan bahwa wacana dapat berupa “karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dsb.), paragraf, kalimat atau kata yang membawa amanat yang lengkap”.
     Definisi wacana (teks) menurut Kridalaksana sudah memasukkan pandangan fungsional secara eksplisit dengan mengatakan “membawa amanat yang lengkap”. Itu berarti bahwa batasan wacana (teks) ditentukan oleh kelengkapan amanatnya. Sebenarnya, pandangan fungsional yang saya sebutkan hanyalah penafsiran saya terhadap definisi tersebut. Kridalaksana sendiri tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan “membawa amanat yang lengkap” karena hanya berupa definisi di kamus linguistiknya. Mungkin saja, pandangan wacananya (teks) tetap struktural dengan alasan dalam pandangan struktural klasik kalimat adalah hirarki satuan bahasa tertinggi karena membawa amanat yang lengkap. Sebuah kata seperti fakta-fakta lingual (IV.1) secara gramatikal adalah kalimat dan karenanya membawa amanat yang lengkap.

 (IV.1)  a.  A berkata: “Pergi!”
            b. A berkata: “Keluar!”
            c. A berkata: “Masuk.”

Tidak jelas apakah yang dimaksud dengan “membawa amanat yang lengkap” itu berdasarkan fungsi sosialnya atau karena bentuk strukturnya. Dalam pandangan strukturalisme klasik, wacana (teks) juga dikatakan memiliki struktur sebagaimana kontituen-konstituen di bawahnya. Tidaklah tepat apabila di sini penafsiran-penafsiran dikembangkan untuk menjelaskan definisi wacana (teks) tersebut. Satu hal terpenting  adalah bahwa definisi wacana (teks) menurut Kridalaksana tersebut setidaknya dapat mencakup fakta-fakta lingual yang hanya terdiri atas satu kata yang selama ini tidak tersentuh oleh definisi wacana (teks) secara struktural.
     Yang menjadi permasalahan adalah bahwa sebuah realisasi lingual yang memiliki amanat yang lengkap dapat berupa sebuah realisasi lingual yang tidak alamiah. Artinya adalah bahwa realisasi lingual tersebut mugkin saja sebuah kalimat yang dibuat sebagai sebuah contoh dalam buku tata bahasa. Karena berupa sebuah kalimat, tentu saja realisasi lingual tersebut memiliki amanat yang lengkap. Misalnya, sebuah buku tata bahasa menampilkan contoh (IV.2) untuk memperlihatkan penggunaan verba memberi dan memberikan secara gramatikal.

(IV. 2) a.  Amin memberi adiknya sebuah buku.
            b. Amin memberikan sebuah buku kepada adiknya

Baik kalimat (IV.2.a) maupun (IV.2.b) merupakan dua kalimat yang tentu saja memiliki amanat yang lengkap. Tidak satupun penutur bahasa Indonesia yang akan mengatakan bahwa kedua kalimat tersebut tidak membawa amanat yang lengkap. Karena kedua kalimat tersebut membawa amanat yang lengkap, maka baik kalimat (IV.2.a) maupun (IV.2.b) dapat menjadi objek kajian anlisis teks. Simpulan tersebut logis dan sah berdasarkan definisi teks yang di dalamnya mengandung unsur membawa amanat yang lengkap.
     Meskipun definisi teks sebagai satuan bahasa beramanat lengkap sudah dapat mencakup fakta-fakta lingual yang hanya terdiri dari satu kata atau satu fasa dalam kehiduapn sehari-hari, definisi tersebut masih memiliki kelemahan. Kelemahan definisi teks tersebut terletak pada sifat fungsionalnya. Menurut definisi tersebut, teks dapat berupa satuan lingual yang tidak alamiah atau secara nyata merupakan realisasi yang digunakan dalam komunikasi seperti kalimat (IV.2). Sementara itu, satuan lingual yang tidak alamiah atau secara nyata dalam komunikasi seperti kalimat (IV.2) tidaklah dijadikan objek kajian analisis teks. Realisasi lingual (IV.2) merupakan objek kajian sintaksis. Oleh karena itu, definisi teks sebagai satuan lingual yang beramanat lengkap juga masih perlu disempurnakan.

3. Teks: Bahasa dalam Penggunaan

Jika pandangan struktural terhadap bahasa terfokus pada bagaimana struktur formalnya, pandangan fungsional terhadap bahasa terfokus pada fungsi sosialnya. Bahasa, menurut madzhab fungsional, tidaklah sebuah fakta yang berdiri sendiri. Fakta bahasa selalu terkait dengan fungsi sosial. Itu berarti bahwa bahasa tidak dilepaskan dari konteks penggunaannya dan menggunakan bahasa dalam penggunaan (language in use) sebagai dasar pijakan untuk analisisnya. Itulah sebabnya istilah ‘bahasa dalam penggunaan’ menjadi kata kunci dalam analisis teks secara fungsional.
     Pada awalnya, Fairclough (1992:4) menyatakan teks sebagai “any product whether written or spoken ... ... linguistic texts” dan wacana adalah “spoken or written language use ........ as a form of social practice, rather than a purely individual activity or reflux of situational variables” (Fairclough, 1992: 62-63). Tampak bahwa apa yang dimaksud oleh Fairclough dengan istilah teks adalah produk lingual lisan dan tulis secara individual dan istilah wacana adalah fakta lingual sebagai proses sosial dan karenanya tidak berupa sebuah teks secara individual. Perbedaan istilah teks dan wacana tersebut berimplikasi langsung pada pengertian analisis teks dan analisis wacana.
     Pembedaan istilah teks dari wacana tetap dipertahankan oleh Fairclough pada perkembangan selanjutnya. Fairclough (2003:3) mendefinsikan teks sebagai semua bentuk nyata bahasa dalam penggunaan (any actual instance of language in use), mencakup teks tulis dan lisan seperti daftar belanja, artikel surat kabar, transkrip percakapan lisan, dan transkrip wawancara. Termasuk juga di dalam definisi teks, menurut Fairclough, adalah program telivisi dan webpage meskipun sangat terbatas karena program telivisi dan webpage juga menyertakan grambar visual dan efek suara. Sementara itu, wacana didefinisikan sebagai “the particular view of language in use ......... as an element of social life which is closely interconected with other elements” (Fairclough, 2003:3). Istilah wacana tersebut mencakup (i) pengertian umum ‘wacana’ (discourse without an article, Fairclough 1992:3) untuk mengacu pada pandangannya terhadap bahasa sebagaimana tampak pada definisi wacana dan (ii) pengertian khusus ‘sebuah wacana’ (discourse wiht an article, Fairclough 1992:3) untuk mengacu pada pandangan teoretis-sosial tertentu seperti ‘sebuah wacana komersialisasi pendidikan’.
     Definisi teks menurut Fairclough tersebut memiliki asumsi dan implikasi bahwa, pertama, teks bersifat nyata (actual), yaitu produk lingual yang sudah dituliskan atau dituturkan dan dapat kita temukan dalam kehidupan sosial masyarakat. Implikasinya adalah apa yang sedang dipikirkan dalam bentuk bahasa oleh seseorang di dalam benaknya tidak termasuk dalam pengertian teks di sini. Begitu juga, realisasi lingual yang digunakan untuk kepentingan contoh seperti (IV.2) juga tidak termasuk dalam pengertian teks ini. Kedua, karena berupa ‘bahasa dalam penggunaan’, teks bersifat kontekstual. Itu berarti tidak ada teks tanpa konteks atau konteks tidak dapat dipisahkan dari teks. Ketiga, karena kata kuncinya adalah ‘bahasa dalam penggunaan’, teks tidak ditentukan oleh kuantitas realisasi bahasanya, sehingga sebuah teks dapat berupa hanya satu kata seperti kata ‘buka’ dan ‘tutup’ di pintu toko atau berseri-seri buku seperti ensiklopdia. Terakhir, karena bersifat kontekstual, teks tidak ditentukan oleh kualitas koherensi lingualnya, sehingga sebuah teks juga dapat berupa rangkaian ekspresi lingual yang secara lahiriah tidak memiliki koherensi lingual seperti contoh (III.4) dalam bab 3. Meskipun tidak memiliki koherensi lingual, contoh (III.4) memiliki koherensi kontekstual, yaitu daya keterpahaman menurut konteksnya.
     Sebagai titik tolak awal, pengertian teks yang digunakan dalam buku ini didasarkan pada asumsi dan implikasi definisi teks menurut Fairclough yang disebutkan di atas. Akan tetapi, elaborasi lebih lanjut perlu diberikan untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan ‘teks tidak ditentukan oleh kuantitas realisasi bahasanya’. Secara singkat, di atas telah disebutkan bahwa teks secara formal dapat berupa satu kata dan bahkan berjilid-jilid buku. Akan tetapi, pengertian teks juga dapat diperluas sebagai bagian dari sebuah teks.
Sebuah contoh yang mudah akan disajikan sebagai ilustrasinya. Buku adalah contoh nyata sebuah teks, sehingga kita dapat menyebutnya teks buku. Sebuah teks buku pada umumnya memiliki bentuk struktur formal seperti tampak pada Gambar 1.

Gambar 1 Struktur Formal Teks Buku dan Fungsinya

Bagian-bagian teks buku tersebut dapat juga dinyatakan sebagai teks, sehingga kita dapat mengatakan teks judul, teks daftar isi, teks kata pengantar, dan seterusnya. Alasannya jelas bahwa teks-teks yang terdapat dalam teks buku tersebut juga merupakan bentuk bahasa dalam penggunaan. Dengan pengertian tersebut, mungkin saja kita mendapati sebuah teks di dalam teks.
Di samping itu, terdapat pengertian lain tentang teks yang terdapat dalam teks. Fairclough (2003:6) mengemukakan bahwa analisis terhadap teks dapat difokuskan hanya pada beberapa unsur dalam teks (a selected few features of text). Misalnya adalah beberapa kata kunci dari sebuah korpus teks dan menganalisis perilaku kata-kata kunci tersebut seperti yang dilakukan oleh Fairclough (1992:187-190) dengan kata enterprise. Contoh lainnya adalah ketika kita hanya memilih kata-kata sapaan sebagai objek analisis bahasa dalam penggunaan. Kata-kata sapaan yang dianalisis dapat difokuskan hanya yang ditemukan dalam jenis teks tertentu atau dalam beragam jenis teks.
Di sini Fairclough tidak menyebut unsur-unsur tertentu dalam teks seperti kata-kata kunci sebagai teks. Dengan demikian, definisi teks sebagai semua bentuk nyata bahasa dalam penggunaan yang diajukan oleh Fairclough menghadapi permasalahan. Unsur-unsur tertentu dalam sebuah teks seperti kata-kata kunci, kata-kata sapaan, bentuk-bentuk nominalisasi, dan kata-kata metaforis merupakan bentuk nyata bahasa dalam penggunaan. Akan tetapi, mengapa Fairclough tidak menyebutnya sebagai teks tetapi sebagai unsur-unsur tertentu dalam teks. Bagaimana dengan kata pengantar yang kita temukan dalam buku? Sebagai bagian dari sebuah teks, yaitu teks buku, apakah kata pengantar termasuk sebuah teks atau unsur-unsur tertentu dalam teks sebagaimana kata-kata kunci, kata-kata sapaan, bentuk-bentuk nominalisasi, dan kata-kata metaforis?
Apabila unsur-unsur tertentu dalam sebuah teks dikatakan sebagai teks, permasalahan yang muncul adalah bahwa sebuah teks dapat disusun atas teks-teks. Dalam pengertian contoh buku sebagai sebuah teks, hal itu mudah dipahami dan sangat memungkinkan buku disusun atas teks-teks. Akan tetapi, pada tingkat yang lebih jauh, apabila sebuah teks hanya terdiri atas sebuah frasa, itu berarti bahwa setiap kata pembentuknya adalah juga teks. Simpulan itu logis karena setiap kata dapat dianilisis sebagai bentuk bahasa dalam penggunaan. Sebaliknya, jika unsur-unsur dalam teks tersebut tidak dikatakan sebagai teks, teks yang didefinisikan oleh Fairclough sebagai semua bentuk nyata bahasa dalam penggunaan tidak dapat dibenarkan. Di sinilah permasalahan yang dihadapi oleh definsi teks menurut Fairclough.

4. Rumusan Baru Definisi Teks

Pengertian teks sebagai “satuan lingual yang beramanat lengkap” (Kridalaksana, 1983:179) dalam bagian 4.2 dan sebagai “segala bentuk nyata bahasa dalam penggunaan” (Fairclough, 2003:3) dalam bagian 4.3 telah dapat meliputi bentuk-bentuk penggunaan bahasa yang tidak tercakup dalam definisi teks secara struktural. Dalam definisi tersebut, realisasi teks tidak harus berupa seperti teks pidato atau percakapan tetapi dapat hanya berupa sebuah kata seperti tulisan teks “buka” atau “tutup” yang terpampang pada pintu sebuah kantor. Begitu juga, teks tidak dapat berupa satuan lingual yang tidak secara nyata digunakan dalam komunikasi.
Pada bagian-bagian sebelumnya dalam bab ini, kita telah memahami bahwa tidak semua satuan lingual yang bermanat lengkap dapat dikatakan sebagai teks karena tidak satuan lingual tersebut bukan realisasi lingual yang secara nyata digunakan dalam komunikasi. Begitu juga, kita juga melihat bahwa tidak semua bentuk bahasa dalam penggunaan dapat disebut teks karena tidak beramanat lengkap. Dengan demikian, sejauh ini kita dapat menyetujui bahwa definisi teks mengandung dua pengertian utama, yaitu (i) satuan lingual yang beramanat lengkap dan (ii) semua bentuk satuan ligual yang digunakan secara nyata dalam komunikasi. Pengertian yang pertama mengatasi kekurangan yang terdapat dalam pengertian kedua dan sebaliknya pengertian yang kedua mengatasi kekurangan yang terdapat dalam pengertian pertama.
Untuk mendapatkan ancangan baru definisi teks, kita perlu melakukan elaborasi lebih lanjut dua pengertian yang terkandung dalam teks tersebut. Karena dua pengertian tersebut sudah dibahas dalam dua bagian sebelumnya, pembahasan lebih lanjut ini akan difokuskan pada permasalahan-permasalahan yang terdapat di dalamnya dan berbagai ancangan penyelesaian untuk mengatasinya. Dengan begitu, kita akan mendapatkan sebuah ancangan baru definisi teks yang lebih jelas dan dapat dengan jelas ditunjuk sebagai objek kajian analisis teks.
Karena digunakan sebagai bentuk nyata bahasa dalam komunikasi, dua pengertian yang terkandung dalam rumusan definisi teks tersebut mengisyaratkan bahwa teks merupakan realisasi lingual yang memiliki tujuan sosial. Tujuan sosial teks tersebut tidak lain adalah untuk menyampaikan amanat yang terdapat dalam diri penutur dalam sebuah komunikasi. Tujuan sosial dan realisasi lingual dalam sebuah teks merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu dari lainnya seperti tampak pada Gambar 2.

Gambar 2  Sifat Dwi-dimensional Teks

Misalnya, sebuah fakta lingual dikatakan sebagai sebuah ‘teks iklan’ karena secara fungsional teks tersebut memiliki tujuan sosial bebeda dari fakta lingual yang disebut dengan ‘teks daftar belanja’ atau ‘teks berita’. Tujuan sosial yang terkandung dalam sebuah teks tersebut mengikat sebuah realisasi lingual sebagai ‘satu kesatuan fungsional’ yang menjadi amanat teks tersebut. Realisasi lingual sebagai satu kesatuan fungsional tersebut dapat berupa satu kata seperti ‘buka’ dan ‘tutup’ yang terdapat di pintu sebuah toko atau berseri-seri buku seperti ensiklopedia.
Pada dasarnya, setiap teks memiliki dua tujuan sosial di dalamnya sekaligus. Kedua tujuan sosial yang dimiliki oleh setiap teks tersebut adalah (i) tujuan interaksional dan (ii) tujuan transaksional (Brown dan Yule, 1983). Tujuan interaksional dan transaksional dapat disamakan dengan apa yang disebut Halliday (1978) dengan (i) fungsi interpersonal dan (ii) fungsi ideasional. Fungsi interpersonal teks mengacu pada tujuan teks untuk membangun relasi sosial antar partisipan dan fungsi ideasional teks mengacu pada tujuan teks untuk mempresentasikan pandangan dunia (world view) penutur tentang sesuatu. Dengan kata lain, amanat yang terkandung dalam sebuah teks terdiri atas dua amanat, yaitu (i) amanat interpersonal dan (ii) amanat ideasional.
Misalnya, diberikan kepada kita satuan-satuan lingual seperti dalam (IV.3).

(IV. 3) a. Ibu.
            b. Bibit unggul.

Pertanyaannya adalah apakah kita dapat melakukan analisis terhadap satuan-satuan lingual tersebut. Kita dapat memahami arti setiap satuan lingual tersebut berdasarkan pengetahuan leksikon yang terdapat dalam mental kita atau berdasarkan penjelasan kamus. Namun, jelas sekali kita tidak dapat memahami makna dan maksud satuan-satuan lingual tersebut. Begitu juga, kita tidak dapat menganalisis apa tujuan sosial dari satuan lingual dalam (IV.3). Oleh karena itu,  jelas bahwa satuan lingual (IV.3) tidak dapat dikatakan teks.
Bagaimana jika kedua satuan lingual tersebut sebenarnya diambil dari satuan lingual yang memang nyata digunakan dalam komunikasi? Jika memang demikian asal muasalnya, kedua satuan lingual tersebut memenuhi unsur pengertian teks dari sisi bahwa keduanya merupakan bentuk bahasa dalam penggunaan. Akan tetapi, apabila dilihat dari sisi amanat yang dikandungnya, kedua satuan lingual tersebut tidak dapat dikatakan sebagai teks. Kedua satuan lingual dalam (IV.3) tersebut tampak jelas tidak memiliki amanat yang lengkap. Itu berarti bahwa apa yang dimaksud Fairclough (2003) dengan unsur-unsur tertentu dalam teks tampaknya bukan kata-kata yang mandiri seperti (IV.3).
Apabila satuan lingual ‘ibu’ dalam (IV.3.a) dilengkapi menjadi (IV.4), kita akan melihat sesuatu yang berbeda dari satuan lingual ‘ibu’ dalam (IV.3).

(IV. 4) a. Seorang anak kepada ibunya.
                Anak     : Ibu beli apa?
            b. Seorang pelayan toko  kepada seorang pembeli
                Pelayan : Ibu beli apa?
            c.  Suami kepada istinya
                Suami    : Ibu beli apa?

Apa yang tampak berbeda adalah bahwa di dalam benak kita terdapat nuansa pengertian yang berbeda antara ‘ibu’ dalam (IV.3) dengan ‘ibu’ dalam (IV.4). Tampak bahwa realisasi lingual ‘ibu’ dalam setiap teks pada (IV.4) sudah memiliki sebuah tujuan sosial tertentu. Tujuan sosial realisasi lingual ‘ibu’ tersebut adalah untuk (i) membentuk relasi interpersonal antara seseorang yang dipanggil ‘ibu’ dengan orang yang memanggilnya dan (ii) merepresentasikan pandangan dunia penutur tentang orang yang diacunya.
Kita dapat melihat bahwa perbedaan tujuan sosial setiap satuan lingual ‘ibu’ dalam (IV.4) tidak terletak semata-mata pada arti lingual secara semantis satuan lingual ‘ibu’ itu sendiri dan juga tidak semata-mata pada makna sintaktis hubungannya dengan satuan-satuan lingual lainnya dalam teks tersebut. Satuan lingual ‘ibu’ secara mandiri tidak dapat dikatakan sebagai sebuah teks, meskipun kita mengetahui arti lingualnya berdasarkan leksikon dalam mental penutur bahasa Indonesia atau berdasarkan keterangan dalam kamus. Begitu juga, satuan lingual yang berupa kalimat ‘ibu beli apa?’ tidak dapat dikatakan sebuah teks apabila kalimat tersebut bukan berupa bahasa dalam penggunaan. Kita belum dapat mengetahui dengan pasti apa tujuan sosial satuan lingual ‘ibu’ meskipun dalam kalimat tersebut kita sudah dapat mengetahui makna sintaktisnya.  
Oleh karena itu, untuk menganalisis satuan lingual ‘ibu’ dalam (IV.4), satuan lingual tersebut tidak cukup dianalisis dari segi arti (lexical meaning) dan maknanya (sense atau sentence meaning), tetapi juga maksudnya (speaker’s meaning atau utterance meaning). Begitu juga, realisasi lingual (III.8.b) dan (III.8.c) tidak akan dapat dianalisis tanpa diletakkan bagaimana digunakan dalam interaksi seperti tampak pada (III.10).

(IV. 5)   a. Pertemuan itu juga bisa diartikan sebagai konsensus informal bahwa jika nanti salah satu kandidat yang mereka calonkan dalam Pilpres 2009 tidak lolos, di putaran kedua mereka akan koalisi.

              b. Bibit unggul tidak dapat muncul tanpa pendidikan yang bermutu.

Tampak bahwa realisasi lingual ‘pertemuan’ dan ‘bibit unggul’ tidak dapat dianalisis tanpa menyertakan realisasi lingual lainnya. Tanpa disertai oleh realisasi lingual lainnya, ‘pertemuan’ dan ‘bibit unggul’ tidak memiliki tujuan sosial apa-apa. Sementara itu, realisasi lingual (III.10.a) dan (III.10.b) memiliki tujuan sosial, yaitu memberikan informasi. Oleh karena itu, realisasi lingual ‘pertemuan’ dan ‘bibit unggul’ tidak dapat dikatakan sebagai teks. Yang merupakan teks adalah seluruh realiasi lingual (III.10.a) dan (III.10.b). Realisasi lingual yang menyertai ‘pertemuan’ dan ‘bibit unggul’ juga tidak dapat dikatakan sebagai konteksnya karena realiasi lingual ‘pertemuan’ dan ‘bibit unggul’ bukan sebagai teks. Konteksnya adalah, jika ada, realisasi lingual yang menyertai teks (III.10.a) dan (III.10.b). 
Akan tetapi, realisasi lingual ‘pertemuan’ akan berbeda apabila terdapat dalam teks (III.11).

(III.5)     Ketika bersepeda ke sutau tempat, Amir melihat temannya, Budi, yang sedang berdiri di depan sebuah bangunan. Amir berteriak bertanya sambil mengayuh sepedanya.
               Amir     : Nungguin apa di sana, Mir?
               Budi      : Pertemuan.

Tampak bahwa realisasi lingual ‘pertemuan’ dalam (III.11) memiliki tujuan sosial, yaitu ‘untuk memberikan pernyataan yang diminta’ oleh tujuan sosial teks sebelumnya, yaitu ‘Nungguin aapa di sana, Mir’. Sementara itu, realisasi lingual ‘Nungguin apa di sana’ memiliki tujuan sosial ‘untuk meminta Budi memberi pernyataan’ atau bertanya dan realisasi lingual ‘Mir’ memiliki tujuan sosial ‘untuk mengarahkan permintaan pernyataan’.  Dengan demikian, ketiga realisasi lingual tersebut dapat dikatakan sebagai teks karena ketiganya memiliki tujuan sosialnya masing-masing.
Jika realisasi lingual ‘Bu’ pada teks (III.9) dan ‘Mir’ pada teks (III.11) merupakan realisasi lingual yang berupa satu kata, berbeda halnya dengan realisasi lingual ‘Pertemuan’ pada teks (III.11). Meskipun secara fisik terlihat hanya terdiri atas satu kata, realisasi lingual tersebut merupakan sebuah kalimat yang melesapkan bagian-bagiannya yang lain. Realisasi lingual tersebut tidak dapat dipahami tanpa melihat konteksnya, yaitu teks yang mendahuluinya ‘Nungguin apa di sana’. Melihat konteksnya, realisasi lingual ‘Pertemuan’ pada teks (III.11) merupakan sebuah kalimat dalam pengertian proposisi, yang kurang lebih berarti ‘Aku sedang nungguin pertemuan’.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa teks yang akan digunakan dalam buku ini didefinisikan sebagai ‘realisasi lingual yang memiliki tujuan sosial’. Implikasinya adalah (i) teks merupakan bentuk nyata bahasa dalam penggunaan, (ii) teks bersifat kontekstual, dan (iii) kuantitas teks ditentukan oleh tujuan sosialnya. Berdasarkan tujuan sosialnya, teks dapat berupa realisasi lingual satu kata hingga berseri-seri buku seperti ensiklopedia atau berjam-jam pidato. Definisi teks tersebut sekaligus mengimplikasikan bahwa analisis teks merupakan analisis terhadap realisasi lingual dan tujuan sosialnya sebagai satu kesatuan. Permasalahan analisis teks akan dibahas secara khusus dalam kaitannya dengan pembahasan konteks dalam bab 4.

4.5 Teks Maksimal dan Teks Parsial

Berdasarkan penjelasan tersebut, kita dapat mengenali dua jenis teks yang penting untuk dibedakan. Pertama adalah teks sebagai realisasi lingual yang maksimal, yang untuk itu saya sebut dengan teks maksimal. Lebih jelasnya, teks maksimal adalah teks yang realisasi lingualnya tidak dalam posisi sebagai bagian dari realisasi lingual teks lain. Contoh teks maksimal adalah teks (III.11) yang direalisasikan dalam tiga teks dengan tujuan sosial ‘melakukan transaksi informasi’. Contoh lainnya adalah sebuah teks buku yang tidak berseri dan teks pemberitahuan seperti ‘tutup’, ‘buka’, ‘keluar’, dan ‘masuk’. Kedua adalah teks yang realisasi lingualnya merupakan bagian dari realisasi-realisasi lingual sebuah teks lain, yang untuk itu saya sebut dengan teks parsial. Realisasi lingual ‘Nungguin apa di sana’, ‘Mir’, dan ‘Pertemuan’ dalam teks (III.11) adalah contoh-contoh teks parsial. Meskipun ketiga realisasi lingual tersebut adalah teks, tetapi ketiganya merupakan penyusun teks (III.11).
Pengenalan dua jenis teks ini, yaitu (i) teks maksimal dan (ii) teks parsial penting dilakukan dalam kaitannya dengan pemahaman kita tentang konteks yang akan dibahas dalam bab 4. Untuk lebih jelasnya, contoh-contoh teks secara umum dapat dilihat pada Tabel 1.


Tabel 1. Contoh-contoh Teks

TEKS
Media
Realisasi lngual
Tujuan Sosial
Bentuk Formal
Contoh
Tulis
Satu kata
Buka / Tutup
Menberikan informasi
(keadaan toko)
Lisan
Satu kata
Kiri...
Memberikan perintah
(turun dari angkutan)
Tulis
Satu frasa
No smoking area
Memberikan perintah
Tulis
Satu Kalimat tunggal
Jangan dibanding
Memberikan perintah
Lisan
Satu Kalimat kompleks
Penumpang yang akan melanjutkan perjalanan ke tujuan selanjutnya harap menghubungi petugas check in
Memberikan informasi



Tulis
Satu atau lebih paragraf
Realisasi lingual dalam Kata Pengantar
Memberikan informasi

6. Ringkasan

Pengertian teks sebagai “satuan lingual yang beramanat





[1] [1] Penulisan “wacana (teks)” memiliki arti bahwa istilah wacana merupakan istilah asli dari sumber yang sedang dibahas. Istilah wacana dari sumber tersebut dalam buku ini sebenarnya termasuk dalam definisi istilah teks. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa apa yang didefinisikan di tempat lain sebagai “wacana” di dalam buku ini didefinisikan sebagai “teks”. Kuncinya adalah apabila istilah “wacana’ didefinisikan sebagai sebuah produk lingual apapun bentuknya, istilah “wacana” tersebut didefinisikan sebagai istilah “teks” dalam buku ini.

No comments:

Post a Comment