1. Pengantar
Pengertian istilah teks yang banyak
digunakan selama ini, sebagaimana dijelaskan dalam bab 3, memiliki sejumlah kelemahan.
Kelemahan utama yang terkandung dalam istilah teks selama ini, pertama, adalah
digunakan secara tumpang tindih dengan istilah wacana Di satu sisi, kadang kala istilah teks dan
wacana dibedakan tetapi, di sisi lain, keduanya disamakan dan digunakan secara
bergantian. Kedua, istiah teks dipandang secara struktural sebagai sebuah produk
lingual yang terdiri atas kalimat-kalimat. Di sini, istilah teks digambarkan
sebagai sebuah karya tulis seperti esai, narasi, syair lagu, dan lain
sebagainya atau sebuah kegiatan berbahasa lisan seperti percakapan, memberi
kuliah, pidato, dan lain sebagainya. Gambaran istilah teks seperti itu
mengabaikan banyak fakta ligual dalam kehidupan sehari-hari yang hanya terdiri
atas satu kalimat bahkan hanya satu kata. Ketiga, istilah teks tidak memiliki
implikasi inheren terhadap konteks karena definisi struktutralnya.
Pengunaan istilah teks dan wacana yang
tumpang tindih dan pemahaman cakupan istilah teks yang mengabaikan banyak fakta
lingual menjadikan definisi istilah teks sangat penting. Tujuan yang akan
dicapai oleh definisi teks ini, dengan demikian, adalah, pertama, untuk
memungkinkan istilah teks dapat mencakup semua fakta lingual yang terdapat
dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, definisi teks diharapkan dapat mendudukkan
perbedaan antara istilah teks dengan istilah wacana secara signifikan. Artinya,
perbedaan tersebut bukan bersifat terminologis belaka tetapi memiliki implikasi
metodologis. Terakhir, definisi teks juga harus mampu memperlihatkan bahwa
konteks merupakan unsur inheren yang tidak dapat diletakkan di antara kutub
analisis kontekstual dengan kutub analisis tekstual.
Di dalam bab ini pembahasan definisi
teks dimulai dari definisi-definisi teks yang sudah ada yang tidak bernuansa
struktural. Definisi pertama didasarkan pada aspek isi teks dan definisi kedua
didasarkan pada aspek penggunaannya. Berdasarkan dua definisi tersebut, bab ini
mengajukan definisi teks yang akan digunakan sebagai acuan untuk bab-bab
berikutnya.
2. Teks: Satuan Bahasa Beramanat Lengkap
Sumber utama permasalahan dalam definisi
istilah wacana yang disamakan dengan istilah teks dalam tradisi struktural
adalah sikap ambivalen mereka terhadap sebuah fakta lingual. Di satu sisi,
mereka memandang teks sebagai satuan bahasa yang secara struktural menduduki
hirarki tertinggi setelah satuan bahasa kalimat. Di sini teks didefinisikan
berdasarkan urutan struktural satuan bahasa mulai dari fonem, morfem, frasa,
klausa, kalimat, dan wacana Definisi ini sama sekali tidak berurusan dengan
fakta-fakta bahasa dalam penggunaan dan analisis yang dilakukan dinamakan
analisis tekstual. Di sisi lain, mereka mengakui peran konteks dalam bahasa
yang berarti pandangannya bersifat fungsional dan menggunakan istilah analisis
kontekstual. Dengan demikian, kita dapat melakukan analisis kontekstual yang
tidak tekstual dan analisis tekstual yang tidak kontekstual. Permasalahan dalam
hal ini dibahas secara khusus dalam bab 5 dan bab 6.
Dibandingkan dari definisi-definisi
wacana (teks)[1]
yang ada, Kridalaksana (1983:179) tidak mendefinisikan wacana (teks) sebagai
satuan bahasa di atas kalimat. Dia hanya menyebutkan bahwa “wacana (teks)
adalah satuan bahasa terlengkap; dalam hierarki gramatikal merupakan satuan
gramatikal tertinggi atau terbesar”. Itulah sebabnya dia dapat mengatakan bahwa
wacana dapat berupa “karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dsb.),
paragraf, kalimat atau kata yang membawa amanat yang lengkap”.
Definisi wacana (teks) menurut
Kridalaksana sudah memasukkan pandangan fungsional secara eksplisit dengan
mengatakan “membawa amanat yang lengkap”. Itu berarti bahwa batasan wacana
(teks) ditentukan oleh kelengkapan amanatnya. Sebenarnya, pandangan fungsional
yang saya sebutkan hanyalah penafsiran saya terhadap definisi tersebut.
Kridalaksana sendiri tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan “membawa amanat
yang lengkap” karena hanya berupa definisi di kamus linguistiknya. Mungkin
saja, pandangan wacananya (teks) tetap struktural dengan alasan dalam pandangan
struktural klasik kalimat adalah hirarki satuan bahasa tertinggi karena membawa
amanat yang lengkap. Sebuah kata seperti fakta-fakta lingual (IV.1) secara
gramatikal adalah kalimat dan karenanya membawa amanat yang lengkap.
(IV.1) a. A
berkata: “Pergi!”
b. A berkata: “Keluar!”
c. A berkata: “Masuk.”
Tidak jelas apakah yang dimaksud dengan
“membawa amanat yang lengkap” itu berdasarkan fungsi sosialnya atau karena
bentuk strukturnya. Dalam pandangan strukturalisme klasik, wacana (teks) juga
dikatakan memiliki struktur sebagaimana kontituen-konstituen di bawahnya.
Tidaklah tepat apabila di sini penafsiran-penafsiran dikembangkan untuk
menjelaskan definisi wacana (teks) tersebut. Satu hal terpenting adalah bahwa definisi wacana (teks) menurut
Kridalaksana tersebut setidaknya dapat mencakup fakta-fakta lingual yang hanya
terdiri atas satu kata yang selama ini tidak tersentuh oleh definisi wacana
(teks) secara struktural.
Yang menjadi permasalahan adalah bahwa
sebuah realisasi lingual yang memiliki amanat yang lengkap dapat berupa sebuah
realisasi lingual yang tidak alamiah. Artinya adalah bahwa realisasi lingual
tersebut mugkin saja sebuah kalimat yang dibuat sebagai sebuah contoh dalam
buku tata bahasa. Karena berupa sebuah kalimat, tentu saja realisasi lingual
tersebut memiliki amanat yang lengkap. Misalnya, sebuah buku tata bahasa
menampilkan contoh (IV.2) untuk memperlihatkan penggunaan verba memberi dan
memberikan secara gramatikal.
(IV. 2) a. Amin
memberi adiknya
sebuah buku.
b. Amin memberikan sebuah buku kepada adiknya
Baik kalimat (IV.2.a) maupun (IV.2.b)
merupakan dua kalimat yang tentu saja memiliki amanat yang lengkap. Tidak
satupun penutur bahasa Indonesia yang akan mengatakan bahwa kedua kalimat
tersebut tidak membawa amanat yang lengkap. Karena kedua kalimat tersebut
membawa amanat yang lengkap, maka baik kalimat (IV.2.a) maupun (IV.2.b) dapat
menjadi objek kajian anlisis teks. Simpulan tersebut logis dan sah berdasarkan
definisi teks yang di dalamnya mengandung unsur membawa amanat yang lengkap.
Meskipun definisi teks sebagai satuan
bahasa beramanat lengkap sudah dapat mencakup fakta-fakta lingual yang hanya
terdiri dari satu kata atau satu fasa dalam kehiduapn sehari-hari, definisi
tersebut masih memiliki kelemahan. Kelemahan definisi teks tersebut terletak
pada sifat fungsionalnya. Menurut definisi tersebut, teks dapat berupa satuan
lingual yang tidak alamiah atau secara nyata merupakan realisasi yang digunakan
dalam komunikasi seperti kalimat (IV.2). Sementara itu, satuan lingual yang
tidak alamiah atau secara nyata dalam komunikasi seperti kalimat (IV.2)
tidaklah dijadikan objek kajian analisis teks. Realisasi lingual (IV.2)
merupakan objek kajian sintaksis. Oleh karena itu, definisi teks sebagai satuan
lingual yang beramanat lengkap juga masih perlu disempurnakan.
3. Teks: Bahasa
dalam Penggunaan
Jika pandangan struktural terhadap
bahasa terfokus pada bagaimana struktur formalnya, pandangan fungsional
terhadap bahasa terfokus pada fungsi sosialnya. Bahasa, menurut madzhab
fungsional, tidaklah sebuah fakta yang berdiri sendiri. Fakta bahasa selalu
terkait dengan fungsi sosial. Itu berarti bahwa bahasa tidak dilepaskan dari
konteks penggunaannya dan menggunakan bahasa dalam penggunaan (language in
use) sebagai dasar pijakan untuk analisisnya. Itulah sebabnya istilah
‘bahasa dalam penggunaan’ menjadi kata kunci dalam analisis teks secara
fungsional.
Pada awalnya, Fairclough (1992:4)
menyatakan teks sebagai “any product whether written or spoken ... ...
linguistic texts” dan wacana adalah “spoken or written language use
........ as a form of social practice, rather than a purely individual activity
or reflux of situational variables” (Fairclough, 1992: 62-63). Tampak bahwa
apa yang dimaksud oleh Fairclough dengan istilah teks adalah produk lingual lisan
dan tulis secara individual dan istilah wacana adalah fakta lingual sebagai
proses sosial dan karenanya tidak berupa sebuah teks secara individual.
Perbedaan istilah teks dan wacana tersebut berimplikasi langsung pada
pengertian analisis teks dan analisis wacana.
Pembedaan istilah teks dari wacana tetap
dipertahankan oleh Fairclough pada perkembangan selanjutnya. Fairclough (2003:3)
mendefinsikan teks sebagai semua bentuk nyata bahasa dalam penggunaan (any
actual instance of language in use), mencakup teks tulis dan lisan seperti
daftar belanja, artikel surat kabar, transkrip percakapan lisan, dan transkrip
wawancara. Termasuk juga di dalam definisi teks, menurut Fairclough, adalah
program telivisi dan webpage meskipun sangat terbatas karena program
telivisi dan webpage juga menyertakan grambar visual dan efek suara.
Sementara itu, wacana didefinisikan sebagai “the particular view of language
in use ......... as an element of social life which is closely interconected
with other elements” (Fairclough, 2003:3). Istilah wacana tersebut mencakup
(i) pengertian umum ‘wacana’ (discourse without an article, Fairclough
1992:3) untuk mengacu pada pandangannya terhadap bahasa sebagaimana tampak pada
definisi wacana dan (ii) pengertian khusus ‘sebuah wacana’ (discourse wiht
an article, Fairclough 1992:3) untuk mengacu pada pandangan teoretis-sosial
tertentu seperti ‘sebuah wacana komersialisasi pendidikan’.
Definisi teks menurut Fairclough
tersebut memiliki asumsi dan implikasi bahwa, pertama, teks bersifat nyata (actual),
yaitu produk lingual yang sudah dituliskan atau dituturkan dan dapat kita
temukan dalam kehidupan sosial masyarakat. Implikasinya adalah apa yang sedang
dipikirkan dalam bentuk bahasa oleh seseorang di dalam benaknya tidak termasuk
dalam pengertian teks di sini. Begitu juga, realisasi lingual yang digunakan
untuk kepentingan contoh seperti (IV.2) juga tidak termasuk dalam pengertian
teks ini. Kedua, karena berupa ‘bahasa dalam penggunaan’, teks bersifat
kontekstual. Itu berarti tidak ada teks tanpa konteks atau konteks tidak dapat
dipisahkan dari teks. Ketiga, karena kata kuncinya adalah ‘bahasa dalam
penggunaan’, teks tidak ditentukan oleh kuantitas realisasi bahasanya, sehingga
sebuah teks dapat berupa hanya satu kata seperti kata ‘buka’ dan ‘tutup’ di
pintu toko atau berseri-seri buku seperti ensiklopdia. Terakhir, karena
bersifat kontekstual, teks tidak ditentukan oleh kualitas koherensi lingualnya,
sehingga sebuah teks juga dapat berupa rangkaian ekspresi lingual yang secara
lahiriah tidak memiliki koherensi lingual seperti contoh (III.4) dalam bab 3.
Meskipun tidak memiliki koherensi lingual, contoh (III.4) memiliki koherensi
kontekstual, yaitu daya keterpahaman menurut konteksnya.
Sebagai titik tolak awal, pengertian
teks yang digunakan dalam buku ini didasarkan pada asumsi dan implikasi
definisi teks menurut Fairclough yang disebutkan di atas. Akan tetapi,
elaborasi lebih lanjut perlu diberikan untuk menjelaskan apa yang dimaksud
dengan ‘teks tidak ditentukan oleh kuantitas realisasi bahasanya’. Secara
singkat, di atas telah disebutkan bahwa teks secara formal dapat berupa satu
kata dan bahkan berjilid-jilid buku. Akan tetapi, pengertian teks juga dapat
diperluas sebagai bagian dari sebuah teks.
Sebuah contoh yang mudah akan disajikan
sebagai ilustrasinya. Buku adalah contoh nyata sebuah teks, sehingga kita dapat
menyebutnya teks buku. Sebuah teks buku pada umumnya memiliki bentuk struktur
formal seperti tampak pada Gambar 1.
Gambar 1 Struktur Formal Teks Buku dan Fungsinya
Bagian-bagian teks
buku tersebut dapat juga dinyatakan sebagai teks, sehingga kita dapat
mengatakan teks judul, teks daftar isi, teks kata pengantar, dan seterusnya.
Alasannya jelas bahwa teks-teks yang terdapat dalam teks buku tersebut juga
merupakan bentuk bahasa dalam penggunaan. Dengan pengertian tersebut, mungkin
saja kita mendapati sebuah teks di dalam teks.
Di
samping itu, terdapat pengertian lain tentang teks yang terdapat dalam teks.
Fairclough (2003:6) mengemukakan bahwa analisis terhadap teks dapat difokuskan
hanya pada beberapa unsur dalam teks (a selected few features of text).
Misalnya adalah beberapa kata kunci dari sebuah korpus teks dan menganalisis
perilaku kata-kata kunci tersebut seperti yang dilakukan oleh Fairclough (1992:187-190)
dengan kata enterprise. Contoh lainnya adalah ketika kita hanya memilih
kata-kata sapaan sebagai objek analisis bahasa dalam penggunaan. Kata-kata
sapaan yang dianalisis dapat difokuskan hanya yang ditemukan dalam jenis teks
tertentu atau dalam beragam jenis teks.
Di
sini Fairclough tidak menyebut unsur-unsur tertentu dalam teks seperti
kata-kata kunci sebagai teks. Dengan demikian, definisi teks sebagai semua
bentuk nyata bahasa dalam penggunaan yang diajukan oleh Fairclough menghadapi
permasalahan. Unsur-unsur tertentu dalam sebuah teks seperti kata-kata kunci,
kata-kata sapaan, bentuk-bentuk nominalisasi, dan kata-kata metaforis merupakan
bentuk nyata bahasa dalam penggunaan. Akan tetapi, mengapa Fairclough tidak
menyebutnya sebagai teks tetapi sebagai unsur-unsur tertentu dalam teks.
Bagaimana dengan kata pengantar yang kita temukan dalam buku? Sebagai bagian
dari sebuah teks, yaitu teks buku, apakah kata pengantar termasuk sebuah teks
atau unsur-unsur tertentu dalam teks sebagaimana kata-kata kunci, kata-kata
sapaan, bentuk-bentuk nominalisasi, dan kata-kata metaforis?
Apabila
unsur-unsur tertentu dalam sebuah teks dikatakan sebagai teks, permasalahan
yang muncul adalah bahwa sebuah teks dapat disusun atas teks-teks. Dalam
pengertian contoh buku sebagai sebuah teks, hal itu mudah dipahami dan sangat
memungkinkan buku disusun atas teks-teks. Akan tetapi, pada tingkat yang lebih
jauh, apabila sebuah teks hanya terdiri atas sebuah frasa, itu berarti bahwa
setiap kata pembentuknya adalah juga teks. Simpulan itu logis karena setiap
kata dapat dianilisis sebagai bentuk bahasa dalam penggunaan. Sebaliknya, jika
unsur-unsur dalam teks tersebut tidak dikatakan sebagai teks, teks yang
didefinisikan oleh Fairclough sebagai semua bentuk nyata bahasa dalam
penggunaan tidak dapat dibenarkan. Di sinilah permasalahan yang dihadapi oleh definsi
teks menurut Fairclough.
4. Rumusan Baru Definisi Teks
Pengertian
teks sebagai “satuan lingual yang beramanat lengkap” (Kridalaksana, 1983:179)
dalam bagian 4.2 dan sebagai “segala bentuk nyata bahasa dalam penggunaan”
(Fairclough, 2003:3) dalam bagian 4.3 telah dapat meliputi bentuk-bentuk
penggunaan bahasa yang tidak tercakup dalam definisi teks secara struktural. Dalam
definisi tersebut, realisasi teks tidak harus berupa seperti teks pidato atau
percakapan tetapi dapat hanya berupa sebuah kata seperti tulisan teks “buka”
atau “tutup” yang terpampang pada pintu sebuah kantor. Begitu juga, teks tidak
dapat berupa satuan lingual yang tidak secara nyata digunakan dalam komunikasi.
Pada
bagian-bagian sebelumnya dalam bab ini, kita telah memahami bahwa tidak semua
satuan lingual yang bermanat lengkap dapat dikatakan sebagai teks karena tidak
satuan lingual tersebut bukan realisasi lingual yang secara nyata digunakan
dalam komunikasi. Begitu juga, kita juga melihat bahwa tidak semua bentuk
bahasa dalam penggunaan dapat disebut teks karena tidak beramanat lengkap.
Dengan demikian, sejauh ini kita dapat menyetujui bahwa definisi teks mengandung
dua pengertian utama, yaitu (i) satuan lingual yang beramanat lengkap dan (ii)
semua bentuk satuan ligual yang digunakan secara nyata dalam komunikasi. Pengertian
yang pertama mengatasi kekurangan yang terdapat dalam pengertian kedua dan
sebaliknya pengertian yang kedua mengatasi kekurangan yang terdapat dalam
pengertian pertama.
Untuk
mendapatkan ancangan baru definisi teks, kita perlu melakukan elaborasi lebih
lanjut dua pengertian yang terkandung dalam teks tersebut. Karena dua
pengertian tersebut sudah dibahas dalam dua bagian sebelumnya, pembahasan lebih
lanjut ini akan difokuskan pada permasalahan-permasalahan yang terdapat di
dalamnya dan berbagai ancangan penyelesaian untuk mengatasinya. Dengan begitu,
kita akan mendapatkan sebuah ancangan baru definisi teks yang lebih jelas dan
dapat dengan jelas ditunjuk sebagai objek kajian analisis teks.
Karena
digunakan sebagai bentuk nyata bahasa dalam komunikasi, dua pengertian yang
terkandung dalam rumusan definisi teks tersebut mengisyaratkan bahwa teks
merupakan realisasi lingual yang memiliki tujuan sosial. Tujuan sosial teks
tersebut tidak lain adalah untuk menyampaikan amanat yang terdapat dalam diri
penutur dalam sebuah komunikasi. Tujuan sosial dan realisasi lingual dalam
sebuah teks merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu dari
lainnya seperti tampak pada Gambar 2.
Gambar 2 Sifat
Dwi-dimensional Teks
Misalnya,
sebuah fakta lingual dikatakan sebagai sebuah ‘teks iklan’ karena secara
fungsional teks tersebut memiliki tujuan sosial bebeda dari fakta lingual yang
disebut dengan ‘teks daftar belanja’ atau ‘teks berita’. Tujuan sosial yang
terkandung dalam sebuah teks tersebut mengikat sebuah realisasi lingual sebagai
‘satu kesatuan fungsional’ yang menjadi amanat teks tersebut. Realisasi lingual
sebagai satu kesatuan fungsional tersebut dapat berupa satu kata seperti ‘buka’
dan ‘tutup’ yang terdapat di pintu sebuah toko atau berseri-seri buku seperti
ensiklopedia.
Pada
dasarnya, setiap teks memiliki dua tujuan sosial di dalamnya sekaligus. Kedua
tujuan sosial yang dimiliki oleh setiap teks tersebut adalah (i) tujuan
interaksional dan (ii) tujuan transaksional (Brown dan Yule, 1983). Tujuan
interaksional dan transaksional dapat disamakan dengan apa yang disebut
Halliday (1978) dengan (i) fungsi interpersonal dan (ii) fungsi ideasional. Fungsi
interpersonal teks mengacu pada tujuan teks untuk membangun relasi sosial antar
partisipan dan fungsi ideasional teks mengacu pada tujuan teks untuk
mempresentasikan pandangan dunia (world view) penutur tentang sesuatu. Dengan
kata lain, amanat yang terkandung dalam sebuah teks terdiri atas dua amanat,
yaitu (i) amanat interpersonal dan (ii) amanat ideasional.
Misalnya,
diberikan kepada kita satuan-satuan lingual seperti dalam (IV.3).
(IV. 3)
a. Ibu.
b. Bibit unggul.
Pertanyaannya adalah
apakah kita dapat melakukan analisis terhadap satuan-satuan lingual tersebut. Kita
dapat memahami arti setiap satuan lingual tersebut berdasarkan pengetahuan
leksikon yang terdapat dalam mental kita atau berdasarkan penjelasan kamus.
Namun, jelas sekali kita tidak dapat memahami makna dan maksud satuan-satuan
lingual tersebut. Begitu juga, kita tidak dapat menganalisis apa tujuan sosial dari
satuan lingual dalam (IV.3). Oleh karena itu,
jelas bahwa satuan lingual (IV.3) tidak dapat dikatakan teks.
Bagaimana
jika kedua satuan lingual tersebut sebenarnya diambil dari satuan lingual yang memang
nyata digunakan dalam komunikasi? Jika memang demikian asal muasalnya, kedua satuan
lingual tersebut memenuhi unsur pengertian teks dari sisi bahwa keduanya merupakan
bentuk bahasa dalam penggunaan. Akan tetapi, apabila dilihat dari sisi amanat
yang dikandungnya, kedua satuan lingual tersebut tidak dapat dikatakan sebagai
teks. Kedua satuan lingual dalam (IV.3) tersebut tampak jelas tidak memiliki
amanat yang lengkap. Itu berarti bahwa apa yang dimaksud Fairclough (2003) dengan
unsur-unsur tertentu dalam teks tampaknya bukan kata-kata yang mandiri seperti (IV.3).
Apabila satuan lingual ‘ibu’ dalam (IV.3.a) dilengkapi menjadi (IV.4),
kita akan melihat sesuatu yang berbeda dari satuan lingual ‘ibu’ dalam (IV.3).
(IV. 4) a. Seorang
anak kepada ibunya.
Anak : Ibu beli apa?
b. Seorang
pelayan toko kepada seorang pembeli
Pelayan : Ibu beli apa?
c. Suami
kepada istinya
Suami : Ibu beli apa?
(IV. 5) a. Pertemuan
itu juga bisa diartikan sebagai konsensus informal bahwa jika nanti salah satu
kandidat yang mereka calonkan dalam Pilpres 2009 tidak lolos, di putaran kedua
mereka akan koalisi.
b. Bibit unggul tidak dapat
muncul tanpa pendidikan yang bermutu.
Tampak
bahwa realisasi lingual ‘pertemuan’ dan ‘bibit unggul’ tidak dapat dianalisis
tanpa menyertakan realisasi lingual lainnya. Tanpa disertai oleh realisasi
lingual lainnya, ‘pertemuan’ dan ‘bibit unggul’ tidak memiliki tujuan sosial
apa-apa. Sementara itu, realisasi lingual (III.10.a) dan (III.10.b) memiliki
tujuan sosial, yaitu memberikan informasi. Oleh karena itu, realisasi lingual
‘pertemuan’ dan ‘bibit unggul’ tidak dapat dikatakan sebagai teks. Yang
merupakan teks adalah seluruh realiasi lingual (III.10.a) dan (III.10.b).
Realisasi lingual yang menyertai ‘pertemuan’ dan ‘bibit unggul’ juga tidak
dapat dikatakan sebagai konteksnya karena realiasi lingual ‘pertemuan’ dan
‘bibit unggul’ bukan sebagai teks. Konteksnya adalah, jika ada, realisasi
lingual yang menyertai teks (III.10.a) dan (III.10.b).
Akan
tetapi, realisasi lingual ‘pertemuan’ akan berbeda apabila terdapat dalam teks
(III.11).
(III.5) Ketika bersepeda ke sutau tempat, Amir
melihat temannya, Budi, yang sedang berdiri di depan sebuah bangunan. Amir
berteriak bertanya sambil mengayuh sepedanya.
Amir : Nungguin apa di sana, Mir?
Budi : Pertemuan.
Tampak bahwa
realisasi lingual ‘pertemuan’ dalam (III.11) memiliki tujuan sosial, yaitu
‘untuk memberikan pernyataan yang diminta’ oleh tujuan sosial teks sebelumnya,
yaitu ‘Nungguin aapa di sana, Mir’. Sementara itu, realisasi lingual ‘Nungguin
apa di sana’ memiliki tujuan sosial ‘untuk meminta Budi memberi pernyataan’
atau bertanya dan realisasi lingual ‘Mir’ memiliki tujuan sosial ‘untuk
mengarahkan permintaan pernyataan’.
Dengan demikian, ketiga realisasi lingual tersebut dapat dikatakan
sebagai teks karena ketiganya memiliki tujuan sosialnya masing-masing.
Jika
realisasi lingual ‘Bu’ pada teks (III.9) dan ‘Mir’ pada teks (III.11) merupakan
realisasi lingual yang berupa satu kata, berbeda halnya dengan realisasi
lingual ‘Pertemuan’ pada teks (III.11). Meskipun secara fisik terlihat hanya terdiri
atas satu kata, realisasi lingual tersebut merupakan sebuah kalimat yang
melesapkan bagian-bagiannya yang lain. Realisasi lingual tersebut tidak dapat
dipahami tanpa melihat konteksnya, yaitu teks yang mendahuluinya ‘Nungguin apa
di sana’. Melihat konteksnya, realisasi lingual ‘Pertemuan’ pada teks (III.11)
merupakan sebuah kalimat dalam pengertian proposisi, yang kurang lebih berarti
‘Aku sedang nungguin pertemuan’.
Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa teks yang akan digunakan dalam buku ini didefinisikan
sebagai ‘realisasi lingual yang memiliki tujuan sosial’. Implikasinya
adalah (i) teks merupakan bentuk nyata bahasa dalam penggunaan, (ii) teks
bersifat kontekstual, dan (iii) kuantitas teks ditentukan oleh tujuan
sosialnya. Berdasarkan tujuan sosialnya, teks dapat berupa realisasi lingual
satu kata hingga berseri-seri buku seperti ensiklopedia atau berjam-jam pidato.
Definisi teks tersebut sekaligus mengimplikasikan bahwa analisis teks merupakan
analisis terhadap realisasi lingual dan tujuan sosialnya sebagai satu kesatuan.
Permasalahan analisis teks akan dibahas secara khusus dalam kaitannya dengan
pembahasan konteks dalam bab 4.
4.5 Teks Maksimal dan
Teks Parsial
Berdasarkan
penjelasan tersebut, kita dapat mengenali dua jenis teks yang penting untuk
dibedakan. Pertama adalah teks sebagai realisasi lingual yang maksimal, yang
untuk itu saya sebut dengan teks maksimal. Lebih jelasnya, teks maksimal
adalah teks yang realisasi lingualnya tidak dalam posisi sebagai bagian dari
realisasi lingual teks lain. Contoh teks maksimal adalah teks (III.11) yang
direalisasikan dalam tiga teks dengan tujuan sosial ‘melakukan transaksi
informasi’. Contoh lainnya adalah sebuah teks buku yang tidak berseri dan teks
pemberitahuan seperti ‘tutup’, ‘buka’, ‘keluar’, dan ‘masuk’. Kedua adalah teks
yang realisasi lingualnya merupakan bagian dari realisasi-realisasi lingual
sebuah teks lain, yang untuk itu saya sebut dengan teks parsial.
Realisasi lingual ‘Nungguin apa di sana’, ‘Mir’, dan ‘Pertemuan’ dalam teks
(III.11) adalah contoh-contoh teks parsial. Meskipun ketiga realisasi lingual
tersebut adalah teks, tetapi ketiganya merupakan penyusun teks (III.11).
Pengenalan
dua jenis teks ini, yaitu (i) teks maksimal dan (ii) teks parsial penting
dilakukan dalam kaitannya dengan pemahaman kita tentang konteks yang akan
dibahas dalam bab 4. Untuk lebih jelasnya, contoh-contoh teks secara umum dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel
1. Contoh-contoh Teks
TEKS
|
|||
Media
|
Realisasi lngual
|
Tujuan Sosial
|
|
Bentuk Formal
|
Contoh
|
||
Tulis
|
Satu kata
|
Buka / Tutup
|
Menberikan informasi
(keadaan toko)
|
Lisan
|
Satu kata
|
Kiri...
|
Memberikan perintah
(turun dari angkutan)
|
Tulis
|
Satu frasa
|
No smoking area
|
Memberikan perintah
|
Tulis
|
Satu Kalimat tunggal
|
Jangan dibanding
|
Memberikan perintah
|
Lisan
|
Satu Kalimat kompleks
|
Penumpang yang akan
melanjutkan perjalanan ke tujuan selanjutnya harap menghubungi petugas check
in
|
Memberikan informasi
|
Tulis
|
Satu atau lebih paragraf
|
Realisasi lingual dalam
Kata Pengantar
|
Memberikan informasi
|
6. Ringkasan
Pengertian teks sebagai “satuan lingual
yang beramanat
[1] [1] Penulisan “wacana
(teks)” memiliki arti bahwa istilah wacana merupakan istilah asli dari sumber
yang sedang dibahas. Istilah wacana dari sumber tersebut dalam buku ini
sebenarnya termasuk dalam definisi istilah teks. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa apa yang
didefinisikan di tempat lain sebagai “wacana” di dalam buku ini didefinisikan
sebagai “teks”. Kuncinya adalah apabila istilah “wacana’ didefinisikan sebagai sebuah
produk lingual apapun bentuknya, istilah “wacana” tersebut didefinisikan
sebagai istilah “teks” dalam buku ini.
No comments:
Post a Comment