Musibah banjir yang melanda Sumatera Utara, khususnya Kota
Medan, baru-baru ini bukan sekadar bencana hidrometeorologi; peristiwa ini
adalah sebuah "uji tekanan" yang menampar kesadaran kita akan
kerapuhan sistem kehidupan yang kita bangun. Ketika air merendam kota, pasokan
listrik terputus dan BBM menjadi langka, kita menyaksikan sebuah kelumpuhan
massal.
Masyarakat panik. Orang-orang seakan kehilangan kemampuan
untuk bekerja dan berproduksi seketika itu juga. Antrian mengular panjang di
SPBU, warga berdesakan demi seliter bensin, dan kegelapan total di malam hari
membekukan aktivitas ekonomi. Realitas di lapangan ini menelanjangi sebuah
fakta yang mengerikan: kita tidak memiliki ketahanan. Kebergantungan
kita pada listrik dan BBM begitu absolut, sehingga tanpanya, kita kembali ke
zaman batu dalam hitungan jam.
Namun, tragedi yang lebih besar bukanlah banjir itu sendiri,
melainkan paradoks di balik energi yang kita perebutkan dalam antrian panjang
tersebut. Kita menggantungkan "nyawa" peradaban ini pada Sumber Daya
Alam (SDA) yang tidak dapat diperbaharui, yang justru turut menyumbang pada
kerusakan iklim pemicu banjir tersebut. Kita sadar sistem ini rapuh, namun
anehnya, belum ada usaha yang benar-benar signifikan untuk menghentikan
kecanduan ini.
Mengapa kita seolah berjalan dalam tidur menuju jurang
kehancuran? Jawabannya bukan sekadar keterbatasan teknologi, melainkan
cengkeraman ekonomi dan ilusi kebijakan yang menyesatkan.
Ekonomi Semu dan Mitos Energi Murah
Faktor utama yang membuat kita enggan berpaling adalah ilusi
bahwa energi fosil itu "murah". Ini adalah kebohongan akuntansi
terbesar. Harga bensin yang kita antrekan atau listrik yang kita pakai tampak
terjangkau hanya karena biaya eksternalitasnya disembunyikan.
Kita tidak membayar biaya kerusakan hutan, biaya pengobatan
penyakit akibat polusi, atau kerugian ekonomi akibat banjir seperti di Medan
ini dalam struk pembelian BBM kita. Jika prinsip polluter pays (pencemar
membayar) diterapkan, energi fosil akan menjadi sangat mahal. Kita
mempertahankan ekonomi semu ini demi kenyamanan sesaat, sembari menumpuk utang
ekologis yang kini mulai ditagih oleh alam.
Inersia Infrastruktur: Terjebak Masa Lalu
Lambannya transisi ini juga disebabkan oleh jebakan
"biaya hangus" (sunk cost). Kita telah menginvestasikan
triliunan untuk infrastruktur energi kotor—kilang minyak, pipa gas, dan PLTU
raksasa.
Para pelaku industri dan pembuat kebijakan enggan
meninggalkan investasi ini. Terjadi fenomena path dependence, di mana
keputusan hari ini dikunci oleh infrastruktur usang masa lalu. Akibatnya,
inovasi terhambat bukan karena tidak layak, tapi karena status quo terlalu
menguntungkan bagi segelintir elit, meskipun rakyat yang harus menanggung
dampaknya saat bencana datang.
Paradoks Kendaraan Listrik: Solusi Kosmetik yang Membuka
Luka Baru
Ketika kritik memuncak, solusi yang ditawarkan sering kali
dangkal, seperti "Kendaraan Listrik" (EV). Namun, ini pun menyimpan
cacat logika. Jika kita mengisi daya mobil listrik dengan energi dari PLTU batu
bara, kita hanya memindahkan polusi dari jalan raya ke cerobong asap
pembangkit.
Lebih parah lagi, EV membawa masalah eksploitasi baru.
Baterainya bergantung pada nikel, yang penambangannya sering mengorbankan hutan
hujan dan daerah resapan air—yang ironisnya, memperparah risiko banjir itu
sendiri. Selain itu, baterai memiliki masa pakai terbatas. Tanpa infrastruktur
daur ulang yang siap, kita sedang menabung "bom waktu" limbah beracun
di masa depan. Kita hanya beralih dari pecandu minyak menjadi pecandu nikel.
Kegagalan Neoliberal: Mengutamakan Kendaraan Pribadi
Akar dari lambannya pengurangan emisi di sektor transportasi
adalah ideologi ekonomi liberal yang dianut negara. Transportasi diperlakukan
sebagai komoditas bisnis, bukan hak publik.
Pemerintah lebih tergiur mendukung industri otomotif pribadi
karena perputaran uangnya cepat dan mendongkrak PDB. Penjualan jutaan kendaraan
dianggap prestasi, padahal itu adalah kegagalan manajemen ruang.
Sebaliknya, transportasi massal (Kereta, Bus) dianaktirikan karena dianggap
membebani anggaran.
Alih-alih investasi besar-besaran untuk transportasi publik
yang efisien, negara justru membakar anggaran untuk subsidi BBM—subsidi yang
justru menyuburkan kemacetan dan polusi. Ini adalah kebijakan kontradiktif:
mensubsidi racun, membiarkan obat penawarnya (transportasi publik) mati suri.
Simpulan: Pencurian Hak Masa Depan
Pemandangan banjir di Medan dan antrian BBM adalah
mikrokosmos dari masalah global kita. Pola konsumsi energi dan kebijakan
ekonomi kita saat ini adalah bentuk *pencurian lintas generasi*. Kita
menghabiskan "modal" bumi (SDA tak terbarukan) dan mewariskan
"bunga" berupa bencana.
Perubahan tidak akan terjadi hanya dengan menunggu banjir
surut. Perubahan hanya akan terjadi jika kita berani merombak total paradigma
ekonomi: dari yang berorientasi pada profit jangka pendek, menjadi ekonomi yang
berorientasi pada ketahanan, keberlanjutan, dan kemaslahatan publik.