Showing posts with label Isu Umum. Show all posts
Showing posts with label Isu Umum. Show all posts

Tuesday, December 2, 2025

Ilusi Kemajuan: Menelanjangi Hubungan Toksik Kita dengan Energi dan Ekonomi Rapuh

 Musibah banjir yang melanda Sumatera Utara, khususnya Kota Medan, baru-baru ini bukan sekadar bencana hidrometeorologi; peristiwa ini adalah sebuah "uji tekanan" yang menampar kesadaran kita akan kerapuhan sistem kehidupan yang kita bangun. Ketika air merendam kota, pasokan listrik terputus dan BBM menjadi langka, kita menyaksikan sebuah kelumpuhan massal.

 Masyarakat panik. Orang-orang seakan kehilangan kemampuan untuk bekerja dan berproduksi seketika itu juga. Antrian mengular panjang di SPBU, warga berdesakan demi seliter bensin, dan kegelapan total di malam hari membekukan aktivitas ekonomi. Realitas di lapangan ini menelanjangi sebuah fakta yang mengerikan: kita tidak memiliki ketahanan. Kebergantungan kita pada listrik dan BBM begitu absolut, sehingga tanpanya, kita kembali ke zaman batu dalam hitungan jam.

 Namun, tragedi yang lebih besar bukanlah banjir itu sendiri, melainkan paradoks di balik energi yang kita perebutkan dalam antrian panjang tersebut. Kita menggantungkan "nyawa" peradaban ini pada Sumber Daya Alam (SDA) yang tidak dapat diperbaharui, yang justru turut menyumbang pada kerusakan iklim pemicu banjir tersebut. Kita sadar sistem ini rapuh, namun anehnya, belum ada usaha yang benar-benar signifikan untuk menghentikan kecanduan ini.

 Mengapa kita seolah berjalan dalam tidur menuju jurang kehancuran? Jawabannya bukan sekadar keterbatasan teknologi, melainkan cengkeraman ekonomi dan ilusi kebijakan yang menyesatkan.

 

Ekonomi Semu dan Mitos Energi Murah

 Faktor utama yang membuat kita enggan berpaling adalah ilusi bahwa energi fosil itu "murah". Ini adalah kebohongan akuntansi terbesar. Harga bensin yang kita antrekan atau listrik yang kita pakai tampak terjangkau hanya karena biaya eksternalitasnya disembunyikan.

 Kita tidak membayar biaya kerusakan hutan, biaya pengobatan penyakit akibat polusi, atau kerugian ekonomi akibat banjir seperti di Medan ini dalam struk pembelian BBM kita. Jika prinsip polluter pays (pencemar membayar) diterapkan, energi fosil akan menjadi sangat mahal. Kita mempertahankan ekonomi semu ini demi kenyamanan sesaat, sembari menumpuk utang ekologis yang kini mulai ditagih oleh alam.

 

Inersia Infrastruktur: Terjebak Masa Lalu

 Lambannya transisi ini juga disebabkan oleh jebakan "biaya hangus" (sunk cost). Kita telah menginvestasikan triliunan untuk infrastruktur energi kotor—kilang minyak, pipa gas, dan PLTU raksasa.

 Para pelaku industri dan pembuat kebijakan enggan meninggalkan investasi ini. Terjadi fenomena path dependence, di mana keputusan hari ini dikunci oleh infrastruktur usang masa lalu. Akibatnya, inovasi terhambat bukan karena tidak layak, tapi karena status quo terlalu menguntungkan bagi segelintir elit, meskipun rakyat yang harus menanggung dampaknya saat bencana datang.

 

Paradoks Kendaraan Listrik: Solusi Kosmetik yang Membuka Luka Baru

 Ketika kritik memuncak, solusi yang ditawarkan sering kali dangkal, seperti "Kendaraan Listrik" (EV). Namun, ini pun menyimpan cacat logika. Jika kita mengisi daya mobil listrik dengan energi dari PLTU batu bara, kita hanya memindahkan polusi dari jalan raya ke cerobong asap pembangkit.

 Lebih parah lagi, EV membawa masalah eksploitasi baru. Baterainya bergantung pada nikel, yang penambangannya sering mengorbankan hutan hujan dan daerah resapan air—yang ironisnya, memperparah risiko banjir itu sendiri. Selain itu, baterai memiliki masa pakai terbatas. Tanpa infrastruktur daur ulang yang siap, kita sedang menabung "bom waktu" limbah beracun di masa depan. Kita hanya beralih dari pecandu minyak menjadi pecandu nikel.

 

Kegagalan Neoliberal: Mengutamakan Kendaraan Pribadi

 Akar dari lambannya pengurangan emisi di sektor transportasi adalah ideologi ekonomi liberal yang dianut negara. Transportasi diperlakukan sebagai komoditas bisnis, bukan hak publik.

 Pemerintah lebih tergiur mendukung industri otomotif pribadi karena perputaran uangnya cepat dan mendongkrak PDB. Penjualan jutaan kendaraan dianggap prestasi, padahal itu adalah kegagalan manajemen ruang. Sebaliknya, transportasi massal (Kereta, Bus) dianaktirikan karena dianggap membebani anggaran.

 Alih-alih investasi besar-besaran untuk transportasi publik yang efisien, negara justru membakar anggaran untuk subsidi BBM—subsidi yang justru menyuburkan kemacetan dan polusi. Ini adalah kebijakan kontradiktif: mensubsidi racun, membiarkan obat penawarnya (transportasi publik) mati suri.


 Simpulan: Pencurian Hak Masa Depan

 Pemandangan banjir di Medan dan antrian BBM adalah mikrokosmos dari masalah global kita. Pola konsumsi energi dan kebijakan ekonomi kita saat ini adalah bentuk *pencurian lintas generasi*. Kita menghabiskan "modal" bumi (SDA tak terbarukan) dan mewariskan "bunga" berupa bencana.

 Perubahan tidak akan terjadi hanya dengan menunggu banjir surut. Perubahan hanya akan terjadi jika kita berani merombak total paradigma ekonomi: dari yang berorientasi pada profit jangka pendek, menjadi ekonomi yang berorientasi pada ketahanan, keberlanjutan, dan kemaslahatan publik.